Oleh : Haruna Rahman, SH, MH, Advokat di Jakarta
Pergeseran
paradigma tentang Hukum dan Sanksi Pidana (Law and Punishment) telah
berubah dari waktu ke waktu. Sejarah Hukum mencatatkan, dahulu membunuh dihukum
mati berdasarkan putusan pengadilan. Lebih jauh lagi ketika pertama kali hukum
modern hadir dibumi dalam Kitab Taurat
dan Injil yang telah disempurnakan Alquran Semua merujukkan pada pidana
mati bagi tindak pidana pembunuhan.
Menurut
sejarah hukum Romawi Eropa, menemukan sisa catatan hukum Romawi kuno yang
terserak didalam dalam bekas penjara Romawi pada abad XII Masehi. Konon, Asas
legalitas “principle of legality”
berasal dari catatan itu
sebagaimana ditulis pada pasal I KUHP dalam
Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang
berbunyi: Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan
undang-undang pidana yang mendahuluinya.
Merujuk
pada praktek pemidanaan Islam bahwa hukuman mati bagi tindak pidana pembunuhan
dan jika keluarga korban memaafkan sanksi
diganti Dyat.
Bisa diterjemahkan lebih sekedar denda atau ganti rugi. Dewasa ini pemikiran yang berkembang
dikalangan pakar hukum dan pemerhatinya di Indonesia yang menginginkan pidana
mati dihidupkan kembali tetapi pada tindak pidana Korupsi. Di Indonesia belum
ada pelaku korupsi ini yang dihukum mati.
Bandingkan dengan China (RRC)
“sejuta petimati” sumber Prof Ahmad Ali Pakar
hukum Pidana dalam wawancara Radio
Elshinta Tentang Pemberantasan Korupsi tahun 1998.
Pemerintah RRC telah
memberlakukan Pidana Mati dan Pidana Denda khususnya kepada pelaku tindak
pidana korupsi. Hakim pengadilan RRC akan
memberikan pertimbangan apakah akan menjatuhkan pidana mati atau denda. Jika
kerugian Negara senilai Bangunan Puskesmas maka terdakwa didepan hakim menunggu
hari ditembak mati. Puskesmas yang dimaksud bahwa korupsi sebandingkah dengan
kematian ibu melahirkan di Puskemas itu. Semakin marak korupsi disuatu daerah
semakin banyak angka kematian yang tidak tertolong perawatan dan peralatan
medis memadai. Contoh Puskesmas di pelosok sangat memperihatinkan kondisi
peralatannya. Itu sebab China menjadi
Negara raksasa dunia dengan tingkat kematian ibu melahirkan. Apakah pidana mati lebih manusiawi?. Dulu China tidak
kenal hukuman mati dalam praktek pemidanaannya tapi akhirnya berubah. Itulah
paradigma hukum yang dapat berubah dari masa ke masa menggiring pemikiran manusia tentang pemidanaan.
Hukum sebagai pondasi vital dalam
berkehidupan dan bermasyarakat (Law is the master). Karenanya pemahaman mengenai hukum secara utuh mutlak diperlukan
untuk bisa menjadi landasan dalam membentuk suatu tatanan masyarakat yang adil,
sejahtera dan beradab dimasa mendatang. Sebuah pemerintahan harus memahami
betul apakah hakikat hukum sesungguhnya bagi negara dan masyarakat. Pemahaman
yang tidak utuh tentang bagaimana sebenarnya hukum diimplementasikan dapat
memengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sampai di sini, menurut pendapat
penulis, sangat diperlukan penelitian
dan pemikiran filosofis mengenai makna hukum dan tujuan pemidanaan. Lebih
diperlukan kajian-kajian hukum yang berlandaskan pada ketuhanan sebagai sumber
hukum pertama, untuk mencapai tujuan hukum dan pemidanaan secara paripurna.
Alih-alih bersandarkan pada kebenaran logika manusia dengan persepsi hukum yang
secara gradual terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Salah satu perubahan pemidanaan yang
paling menonjol adalah persepsi
hukum tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Beberapa abad lalu, perbudakan manusia (slavery)
dianggap sebagai sebuah bentuk hukuman yang efektif menjera si pelaku pidana dan juga hukuman mati. Namun sekarang baik
perbudakan maupun
hukuman mati telah dianggap
pelanggaran HAM berat, sejak diproklamirkannya Deklarasi Tentang Hak Asasi
Manusia (Declaration on Human Rights)
oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Alasan HAM ini menyebabkan beberapa negara mencoret
hukuman mati dari jenis
pemidanan berdasarkan Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP)
negara-negara mereka.
Pemikiran inilah yang melandasi bahwa tindak pidana korupsi di
Indonesia hanya dapat dicegah dengan
sanksi pidana mati. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana
Korupsi Pasal 2 Ayat 2, penegak hukum berhak menerapkan Pasal Pidana
Mati tapi berlaku korupsi
dana bencana alam. Pasal 10 KUHP
(Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Konsep maupun
prakteknya
dikenal salah satu jenis pidana terberat adalah pidana mati.
Bahwa korupsi sebagai kejahatan yang
sangat luar biasa (superordinary crime)
dan korupsi adalah alat pembunuh massal karena kerugian yang diakibatkannya.
Uang negara yang semestinya digunakan untuk rakyat tapi hanya dinikmati
segelintir orang. Uang negara yang selayaknya dipergunakan untuk pembangunan
prasarana umum, kemudian dinikmati untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari sini, penulis menganggap perlu
adanya penelitian dan
pengkajian yang mendalam tentang alternatif pemidanaan
penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi. Di mana, sudah semestinya secara serius
mempertimbangkan pidana mati atau pidana denda sebagai bentuk alternative
pemidanaan.
Berharaplah dengan wakil rakyat dan presiden mendatang soal
komitmen tinggi anti korupsi dengan menetapkan dalam Undang undang bahwa setiap
orang yang memperkaya diri sendiri, keluarga, golongan, menyalagunakan
wewenang, merugikan keuangan Negara diancam dengan pidana mati dan mengganti
kerugian Negara. (****)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia