Mencari Pola Antisipatif Parabegal
Oleh Muh. Yunus H.M.
WAJOTERKINI.COM --- Sudah sekian kali media pemberitaan akhir akhir ini menyajikan rentetan aksi brutal "PARABEGAL" di kota - kota besar, Jakarta, Surabaya, Makassar dan kota - kota besar lainnya di Indonesia. Tetapi begal di Makassar sungguh keterlaluan, sadis, mencekam dan sangat mamalukan. Dua perempuan wisatawan mancanegara, Helga dan Vibeke Olsen, asal Denmark menjadi korban pembegalan di Makassar (07/03/2016). Pelakunya sementara masih terus dalam pengejaran pihak kepolisian. Kejahatan dapat terjadi di mana pun dan menimpa siapa saja. Tapi, memperhatikan korban pembegalan di kota - kota besar Indonesia, mungkin baru pertama kali ada turis mancanegara dibegal di Indonesia. Dan Parabegal di Kota Makassar lah yang telah memberi contoh "teladan" kepada parabegal (penjahat).
Sebelumnya, sudah ada sekian banyak korban berjatuhan, sebut saja misalnya: Asdar (27), lima anak panah menancap dan terdapat luka tikaman di punggung korban. Abd Wahid (15) siswa kelas satu SMK Bajiminasa tewas dibegal. Hajjah Syamsiar (49), dibegal di depan pasar Panaikang, (13/12/2015), meninggal setelah dirawat di RS Ibnu Sina. Dan Wakil Ketua PW Nasyiatul 'Aisyiyah Sulsel, Musyarrafah juga tewas akibat aksi begal. Seakan hukum yang berlaku saat ini tidak sanggup lagi memberi efek jera hukuman terhadap aksi brutal parabegal di dalam kota.
Tanpa rasa kemanusiaan dengan cara sadis, pelaku melukai sampai membunuh korban hanya untuk mengambil paksa harta benda milik korban. Korbannya bisa siapa saja mulai dari anak sekolah, mahasiswa, warga kota, warga pendatang (wisatwan mancanegeara). Padahal, tak seberapa bernilai harta benda milik korban yang menjadi objek rampasan secara paksa dan sadis, tentu keselamatan jiwa raga korban jauh lebih penting ketimbang harta benda. Derita luka korban akibat aksi begal terkadang korban harus membayar biaya pengobatan di rumah sakit, jauh lebih besar ketimbang harga barang milik korban yang telah dirampas oleh Parabegal.
Korban pembegalan terus bejatuhan sementara pihak keamanan terkesan keteteran memberi pelayanan keamanan. Masyarakat nyaris putus harapan, pasrah dan bersikap apatis menyaksikan begal sedang beraksi di muka umum. Tampaknya warga lebih baik bersikap menonton saja ketimbang bersatu melakukan "counter attack" (upaya perlawanan) terhadap parabegal. Kencederungan bersikap diam sambil (dalam hati) berkata, "beruntung bukan aku yang terkena pembegalan" adalah sikap ego induvidualistik yang kurang terpuji bahkan sangat bertentangan kearifan bangsa ini, semangat solidartas (gotong royang, tolong menolong) mulai memudar kehilangan jati diri.
Berkurangnya semangat kebersamaan warga melibatkan diri untuk bergotong royong menumpas kejahatan, justru akan memicu parabegal bermunculan di mana - mana dan menjadi momok sangat menakutkan bagi kita semua, anda dan saya. Kencenderungan mencari aman sendiri sudah pasti bukanlah sikap asli bangsa ini karena kejahatan adalah musuh bersama, persoalan yang besifat delik umum bukan bersifat pribadi (privat). Hanya soal kebetulan giliran orang lain terkena, belum kunjug giliran kita yang terkena.
Polisi dalam hal ini Polri (Polisi Republik Indonesia) kewalahan dalam melaksanakan tugas pokoknya, mengemban misi kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat), membina dan menumbuhkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kuhususnya kepada masyarakat yang membutuhkan perlindungan hukum atas ancaman terhadap keselamatan jiwa serta harta benda dan hak-hak lainnya. Ini disebabkan keterbatasan jumlah personil Polri.
Keterbatasan anggaran pembangunan pada sektor kamtibmas sangat berpengaruh terhadap ketimpangan rasio keamanan di negeri ini. Mengingat jumlah polisi di Indonesia (berbagai sumber) berkisar 420. 000 orang (th 2015) sementara jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 255 juta jiwa. Bila diperbandingkan maka rasio jumlah polisi di Indonesia: 1: 607, sumber lain 1:575 (thn 2014). Kondisi ini masih jauh dari standar ideal PBB, seharusnya 1:300 - 400 adalah rasio ideal kamtibmas di kota besar. Akibat ketimpangan ini, polisi kita keteteran mengejar pelaku kejahatan, Indonesia termasuk kurang aman.
Sekarang, urgensi shock therapy atau kebijakan yang akan memberi efak jera menjadi kebutuhan mendesak. Karena warga dan masyarakat belakangan ini, sangat dipengaruhi kebrutalan, kesadisan, keganasan, sifat nekad dan sifat inhuman parabegal. Seperti pengalaman Rezim Orba menerapkan kebijakan Operasi Rahasia, petrus (penembakan misterius). Sebelum rezim orba menerapkan kebijakan operasi rahasia, kejahatan sungguh sangat mencekam warga kota Jakarta dan kota lainnya di Indonesia. Tapi saat operasi rahasia diterapkan, Jakarta aman terkendali, hampir tidak ada lagi ancaman gangguan kamtibmas yang cukup serius di Jakarta. Warga sudah merasa aman dan tidak takut lagi keluar rumah, mereka bebas ke mana - mana, bebas dari rasa takut dari trauma aksi kejahatan yang merajalela di dalam kota. Situasi keamanan masyarakat dan warga kota ketika itu (thn 80-an) benar - benar terasa aman dari ancaman gangguan kamtibmas yang sebelumnya pernah mencekam warga kota Jakarta.
Pengalaman pemerintahan masa lalu (baca: rezim orba) telah memberi pelajaran mengenai efektivitas operasi rahasia, petrus (penembakan misterius). Penjahat akan berhitung, berpikir berulangkali untuk berbuat nekad melakukan kejahatan. Jangankan penjahat kelas teri ( pemula ) dan kelas kakap (residivis) bahkan penjahat "pensiun" dibuat trauma akan terjaring petrus. Selain pola operasi rahasia tersebut, barangkali pola Dark Justice (pengadilan jalanan) juga efektif dan patut untuk dipertimbangkan sebagai alternatif pilihan dalam upaya menciptakan suasana kamtibmas yang kondusif.
Memang kedua model penjeraan tersebut, secara hukum tidak dapat dibenarkan. Namun terlepas dari kontroversi bahwa kita negara hukum dan menghormati HAM (Hak Asasi Manusia), tampaknya kedua model tersebut cukup efektif untuk memberi efek jera dan merupakan kebutuhan mendesak mengingat kebrutalan parabegal kian hari kian merajalela tak terkendali.
Hanya saja, untuk menyesuaikan aspirasi negara hukum dan HAM, memang keduanya (petrus dan dark justice) relatif masih butuh sedikit pembenahan atas keberatan tersebut. Unsur anarkis dan pelanggaran HAM mesti dihilangkan agar selaras aspirasi negara hukum dan hak - hak asasi manusia. Misalnya, polisi melaksanakan tugas penangkapan dan setelah pelaku disidang di muka pengadilan, baru kemudian pelaku ditembak mati. Maka, prosedur negara hukum telah terpenuhi.
Lantas dengan pola dark justice, bagaimana memparalelkan aspirasi negara hukum dan HAM? Memberantas kejahatan rasanya mustahil tanpa melibatkan kesadaran hukum masyarakat. Dengan demikian, kita harus membangun kebersamaan, sinergitas antara pihak kepolisian dengan warga masyarakat. Misalnya, partisipasi warga sangat diperlukan terutama dalam menjaga lingkungan serta aktif memberi informasi kepada polisi mengenai situasi lingkungannya untuk mempermudah polisi menjalankan tugas kamtibmas. Juga warga harus didorong untuk proaktif bertindak secara beramai - ramai (gotong royong) memberi kesaksian atau bersatu menangkap pelaku, tanpa harus bertindak anarkis, baik saat ia (pelaku) tengah beraksi maupun saat pelaku dalam pengejaran pihak kepolisian. Kemudian, warga menyerahkan pelaku kepada pihak kepolisian untuk diadili secara hukum.
Asalkan jangan setelah upaya beramai - ramai masyarakat menangkap pelaku sementara "seenaknya" hakim di pengadilan malahan memberi hukuman ringan. Jika ini yang terjadi, dapat dipastikan masyarakat akan mengalami frustrasi, kecewa "abis". Dan akan menempuh arah kehidupan ala barbar, pengadilan jalanan (dark justice) menjadi konsekuensi yang tak terelakkan, tindakan anarkis, apa boleh buat. Masyarakat akan menciptakan hukum, menangkap pelaku sekaligus mengadili menurut caranya sendiri.
Makassar, 17 Maret 2016.
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia