Kamis 5 Juni 2025

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Kisah Passompe' dari SempangngE Edisi II

Berita Wajo Terkini
Jumat, 09 Januari 2015 | 06.30.00 WIB Last Updated 2015-01-08T22:51:35Z
Dari Pa'balu' Lipa' Sabbe ke Pangempang Muara, dari SempangngE ke Mangkupalas (Tabe bacaki juga edisi I)

WAJOTERKINI.COM --- Beberapa dari mereka sempat juga menjejakkan kakinya di daratan Jawa, namun tidak banyak, mungkin dikarenakan keberadaan Sarung Pekalongan atau kain batik yang juga mendominasi waktu itu. Disetiap kota, biasanya para pabbalu lipa’ ini menyewa sepeda motor untuk membantu mobilitas mereka untuk menjajakan lipa sabbe`nya dari kampung ke kampung.

Di dekade sebelumnya, para pabbalu lipa ini hanya berjalan kaki dari kampung ke kampung, kadang pekerjaan ini mengundang resiko tinggi, bahkan nyawa mereka. La Caba’ bertutur, dulu di tahun 1960-an, La Tellong bin Ompeng - kakak lelakinya lain ibu, dirampok dan dibunuh bersama rombongannya ketika mabbalu lipa’ di pedalaman Barru atau Sinjai, kuburannya tidak diketahui sampai sekarang.

Motivasi para pemuda SempangngE massompe umumnya selain karena alasan ekonomi, juga didorong oleh semcam budaya atau persepsi yang turun temunrun bahwa lelaki bugis dikatakan sukses apabila sudah pernah massompe, mengadu nasib di negeri orang. Banyak cerita sukses dibalik budaya massompe’ ini, namun tidak sedikit juga yang kembali dengan tidak membanggakan, bahkan tidak jarang hanya nama saja yang kembali alias meninggal di tanah sompe’ (tanah rantau).

Beberapa diantara mereka pulang setelah 1-3 tahun, namun ada juga yang memilih untuk tidak kembali, terlebih karena penghidupan di sompe’, negeri orang, lebih baik ketimbang kembali ke negeri sendiri. Seorang sepupu Caba’, La Taming, memilih bermukim di Malaysia sejak 30 tahun lalu, dan sampai hari ini juga tak pernah mengirim berita.

Para pabbalu lipa’ umumnya lebih sering kembali ke kampung, terlebih setelah dagangan lipa sabbe’nya habis setelah beberapa bulan, untuk kemudian berangkat lagi dengan membawa lipa’ sabbe baru. Profit margin dari berjualan lipa sabbe ini umumnya cukup tinggi, bisa sampai 10kali lipat harga pokok lipa sabbe’. Lipa sabbe ini dibungkus dalam beberapa bungkus kain lipa juga, tiap bungkusnya berjumlah paling sedikit 10 kodi (1kodi=20sarung), beratnya bisa mencapai ratusan kilo. Bisanya lipa sabbe ini diambil dari seorang ’boss’ yang bertindak menjadi ’sponsor’ dan distributor.

Setiap pabbalu lipa mengantongi sejumlah uang dari sang Boss untuk biaya perjalanan dan akomodasi selama mabbalu’ lipa’. Namun, ada juga pabbalu lipa yang berangkat dengan swadaya dari hasil tenunan istri atau perempuan keluarga di rumah. Wanita bugis, sejak berusia baligh, umumnya sudah mahir memainkan alat tenun yang biasa di tempatkan di bawah rumah panggungnya.

Satu lipa sabbe nya bisa diselesaikan dalam 3hari sampai 1 minggu, tegantung tingkat kesulitan corak dan bahannya. Mereka kadang meracik sendiri cello’nya (warna), sehingga awam didapati jemari tangan wanita Bugis ini berwarna merah kebiruan hasil meracik wennang cello (warna benang) tenunannya.

Ikuti kisahnya di edisi berikut (wt-LaNori)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kisah Passompe' dari SempangngE Edisi II

Trending Now