Jum'at 14 Maret 2025

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Saking Sekkenya, Massijing watakkale te’massijing warangparang

Berita Wajo Terkini
Sabtu, 21 Februari 2015 | 07.00.00 WIB Last Updated 2015-02-20T23:00:00Z
WAJOTERKINI.COM --- Masyarakat Wajo sangat identik dengan profesi pedagang atau kegiatan perdagangan. Sejak dahulu sampai sekarang, bahkan perdagangan menjadi modal utama ketika mereka meninggalkan kampung halamannya.

Karena kepiawaiannya dalam berdagang muncullah stigma buruk tentang karakter masyarakat bugis Wajo sebagai masyarakat yang kikir atau dalam bahasa bugisnya dikenal dengan istilah masekke.

Dalam kegiatan berdagang mereka kikir baik kepada dirinya sendiri, keluarganya, maupun kepada orang lain sehingga lahirlah istilah massijing watakkale te’massijing warangparang. Istilah tersebut bermakna bahwa saudara tetaplah saudara akan tetapi dalam hal harta benda tidaklah dikenal harta bersama.

Dalam perdagangan tidak mengenal kata saudara, bisnis is bisnis, hal tersebut merupakan cara untuk menjaga kelangsungan usaha. Kalau semua barang diberikan secara cuma-cuma kepada keluarga tentu akan rugi jadinya.

Perilaku hemat masyarakat Wajo lahir dari falsafah ajjasia naburukiko labo, natunaiko sekke (artinya janganlah kau hancur karena sikap yang terlalu dermawan dan terhina oleh sifat kikir). Istilah ini memberi petunjuk tentang bagaimana perilaku manusia dalam bidang ekonomi.

Falsafah tersebut mengajarkan sikap hemat atau setiap tindakan dipertimbangkan secara matang. Pada dasarnya massijing watakkale te’massijing warangparang bukanlah sikap kikir tapi melainkan sikap di mana seseorang mampu memposisikan dirinya pada kehidupan sehari-hari khususnya pada kegiatan perekonomian. Istilah tersebut memang datangnya dari luar berdasarkan sikap hemat dari masyarakat Wajo.

Sikap kikir yang diidentikkan pada pedagang Bugis Wajo tidaklah memiliki arti kikir yang sebenarnya. Bagi pedagang Bugis Wajo, itu bukanlah kikir tapi melainkan sikap penghematan.

Ungkapan massijing watakkale te’massijing warangparang yang memiliki makna, saudara tetaplah saudara tapi dalam hal harta benda tidaklah dikenal harta bersama.

Kenyataannya,istilah tersebut kemudian melahirkan multiinterpretasi pada kalangan masyarakat awam. Ada sebagian masyarakat yang memahami atau memaknai istilah tersebut sebagai sebuah nilai dan ada pula masyarakat yang memaknainya sebagai sebuah cara atau sistem dalam berdagang. Istilah tersebut banyak ditujukan pada mereka yang berprofesi sebagai pedagang dan seakan-akan istilah tersebut diidentikkan dengan karakternya sebagai pedagang.

Massijing watakkale te’massijing warangparang adalah hal sangat sensitif bagi sebagian masyarakat Wajo karena berkaitan kepribadian atau watak. Bagi mereka adalah sebuah hal memalukan jika menyandang atau berpredikat seperti itu. Istilah tersebut mengandung makna yang kurang baik khususnya bagi mereka yang berprofesi sebagai pedagang.

Banyak yang tidak sepakat atau tidak nyaman dengan istilah tersebut. Ada yang mengatakan bahwa sebagai pedagang, dia tahu benar bagaimana cara memperlakukan keluarganya sendiri. Ini adalah sebuah sindiran dan merendahkan masyarakat Bugis Wajo yang seakan-akan mempertuhankan harta atau menganggap harta adalah segalanya.

Bagi masyarakat Bugis Wajo harta bukanlah tujuan utama dalam hidup tapi bagaimana hidup ini bisa berguna bagi orang banyak. Kegiatan berdagang bukan semata mencari keuntungan saja, berdagang dijadikan media interaksi dan media bagi manusia saling membantu.

Masyarakat Bugis Wajo percaya berdagang juga memiliki nilai ibadah. Tapi seiring dengan perkembangan zaman hal tersebut tidak sensitif lagi, istilah tersebut sering digunakan sebagai lelucon saja.

Ada juga yang menganggap fenomena massijing watakkale te’massijing warangparang adalah hal biasa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan semua mengerti kenapa hal tersebut harus diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Itu sesuatu yang biasa dalam kegiatan berdagang.

Membeli barang dari keluarga sama saja membantu anggota keluarga itu. Berbeda halnya dengan hanya mengambil barang secara cuma-cuma itu sama saja dengan mengurangi modal dari usaha yang dijalankan. Jadi pada komunitas pedagang dianggap wajar saja karena hal tersebut merupakan konsekuensi dalam kegiatan perdagangan.

Seorang ayah harus membayar barang yang telah dibeli dari anaknya adalah sesuatu yang wajar saja. Itu bukanlah tindakan berkonotasi negative seperti yang dilontarkan pada pedagang Bugis Wajo. Yang menjadi tidak wajar adalah ketika seorang anak haruslah mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan orang tuanya selama dia bersekolah.

Rasionalisasi dari tindakan menjual barang dagangan pada keluarga sendiri merupakan tindakan untuk menjaga kelancaran usahanya. Sesuai dengan falsafah dagang bugis yaitu, ajjasia naburukiko labo (jangan terlalu dermawan). Dalam proses transaksi tersebut hadir modal sosial yang meredam hal-hal negative.

Kata "ajjasia natunaiko sekke" (jangan terlalu kikir) adalah cerminan dari sikap kolektivitas. Bagi masyarakat Bugis Wajo, dimana sifat kikir akan membuat kita jauh dari keluarga, teman atau orang lain, ketika menjadi makhluk terasing maka akan sulit melakukan usaha perdagangan, karena usaha perdagangan membutuhkan relasi sosial yang kuat.

Dari uraian tersebut istilah massijing watakkale te’massijing warangparang dapat dilihat sebagai sebuah sistem (cara berdagang) dalam relasi ekonomi. Istilah tersebut identik dengan managemen dagang yang mengarah pada upaya maksimalisasi keuntungan. Bagaimana istilah tersebut dalam relasi sosial masyarakat Bugis Wajo?

Oleh: Risna Fhani Alumni UNM
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Saking Sekkenya, Massijing watakkale te’massijing warangparang

Trending Now