WAJOTERKINI.COM ,Makassar - Tulisan yang mengatasnamakan Koordinator Eksekutif Kontras Haris Azhar yang beberapa hari terakhir ini beredar di media sosial tentang pengakuan terpidana mati Freddy Budiman sontak rame dibicarakan.
Bagaimana tidak, didalam tulisannya ia yang mengungkapkan
informasi-informasi rahasia tentang sepak terjang dan kelemahan aparat
penegak hukum baik itu Polri, BNN, dan TNI dalam menangani kasus
narkoba.
Analisis Politik dan Kebangsaan Dr. Arqam Azikin mengungkapkan
bahwa tulisan Koordinator Eksekutif Kontras tersebut lebih kepada
propaganda politik yang bertujuan untuk mendiskreditkan institusi
negara.
“Bila betul HA bisa mempertanggung jawabkan postingannya coba
ungkap fakta faktanya dan laporkan ke wilayah penegakan hukum,” kata
Arqam saat tim dikonfirmasi tim Tribratanewsmakassar via telepon.
Menurutnya, agar anak bangsa bisa berbenah mencari antisipasi dalam
menghadapi ancaman pengaruh narkoba yang telah merusak 5 hingga 10
generasi anak-anak muda Indonesia.
Yang lebih mengherankan lagi katanya mengapa tidak Freddy Budiman
sendiri yang mengungkapkannya 2 atau 3 hari setelah kepada teman-teman
pers.
“Jadi, munculnya opini tanpa data faktual merupakan bagian dari
proses propaganda politik yang perlu dicermati Kapolri untuk mengambil
langkah tegas menelusuri ada apa dibalik postingan ini,” jelas pendiri
Sekolah Kebangsaan Generasi Muda ini.
Berikut tulisan Haris Azhar yang dimaksud :
"Cerita Busuk dari seorang Bandit"
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)
Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga
dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini
hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum
yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam
menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba
yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi
kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya
berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye
pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi
gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa
Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan
bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus
rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan
John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus
Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana
WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).
Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK
(saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan
bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat
tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau
melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak
Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping
kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil
sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata
tajam.
Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun
integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama
24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau
pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa
Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman
tersebut.
Saya mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN
berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah
status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus
diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan
kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman
memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada
hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak
Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita
hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia
lakukan.
Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum
mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya
lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak
hukumnya.
"Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala
besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (bos saya)
ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya
acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang
yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris
berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 –
300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina.
Makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya.
Ketika saya telepon si pihak tertentu, ada yang nitip Rp 10.000 per
butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang
tidak. Selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”
Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000.
Jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di
dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10
miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa
bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”
Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan
sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya
ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan
saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas. Saya jadi dipertanyakan
oleh bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa
lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini
yang main polisi atau lo?’”
Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba,
punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang
saya dijual, saya tahu, dan itu ditemukan oleh jaringan saya di
lapangan.”
Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar?
Kemana orang-orang itu? Dalam hitungan saya, selama beberapa tahun kerja
menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya
sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya
menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di
samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai
Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba.
Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.
"Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya
ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa
bandarnya. Saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di
Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA). Saya siap nunjukin
dimana pabriknya. Dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas
satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina, sampai ke depan pabriknya.
Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan
akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.
"Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin
bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka.
Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur. Ketika di
tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak
ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan
bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima
aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi
itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 miliar dari harga yang disepakati 2
miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji
setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya
ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal
saya paham dia hanya akan memeras saya.”
Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika
orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba
yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.
Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa Anda tidak bongkar cerita ini? Lalu Freddy menjawab:
“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas. Saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”
Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut
tidak ada di website Mahkamah Agung. Yang ada hanya putusan yang
tercantum di website tersebut. Putusan tersebut juga tidak mencantumkan
informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat
negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi
menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu
pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan
kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang
disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami
mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
Haris Azhar (2016)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia