SOPPENGTERKINI -- Takdir tak dapat ditolak, Anugrah ketetapan Allah SWT menjadikan posisi Umpungeng sebagai titik tengah INDONESIA adalah keniscayaan. Kami bangga dengan para leluhur, yang dengan wawasan dan ingsting kenegarawanan nya, mereka meninggalkan jejak dan symbol peradabannya berupa situs megalitik GARUGA (lingkaran batu) yang dulu menjadi pusat pertemuan / pemersatu (AssisUmpungeng) oleh berbagai suku.
Berbagai nama tersemat dalam satu tempat ini antara lain dikenal dengan nama Tanah Ancajingeng, Tanah Rigella, Tanah Boccoe, Tanah Merdeka, Lalabata dan Umpungeng.
Pertanyaan nya adalah siapa gerangan yang membangun tempat ini? Teknologi apa kiranya yang telah digunakan sehingga bisa memperoleh informasi bahwa tempat ini akan menjadi simpul pertengahan suatu Negara bernama Indonesia? Atas dasar apakah sebuah aplikasi map milik google bernama Google earth dapat meletakkan nama INDONESIA persis di posisi tengah peta Indonesia dan bertemu dengan situs megalitik bernama GARUGA?
Itulah energy (semangat) baru dan terbarukan pertama yang dimiliki Umpungeng. Energy yang kedua adalah energy sumber daya alamnya. Terdapat 3 musim dalam satu siklus tahunan di Umpungeng yang masing-masing berlangsung selama 4 bulan yaitu 1. Musim hujan (Wettu Bonge’) 2. Musim Hujan Angin (Wettu Bare’) 3. Musim Kemarau (Wettu Timo). Keadaan alam seperti ini berlangsung sepanjang tahun hingga saat ini.
Kondisi ini menyebabkan DR. Ir. Nasruddin seorang Dosen senior dari Fakultas Tehnik Universitas Hasanuddin Makassar tergerak untuk datang melakukan survey dan menelity potensi energy yang dapat di hasilkan dari keadaan alam yang demikian uniknya.
Hasilnya cukup menggembirakan bahwa ke 3 kondisi alam tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan energy baru dan terbarukan yakni air, angin dan matahari, Umpungeng memiliki ketiganya.
Ke 3 potensi tersebut yang paling prospek adalah Pembangkit Listrik Tenaga mikro Hydro (PLTMH) “Debit air sungai di Umpungeng sangat bagus dan stabil untuk sebuah pembangkit listrik” ujar sang Dosen Peneliti menyampaikan hasil surveynya.
Sejak diberikannya rekomendasi tersebut, sekelompok anak muda Umpungeng melakukan upaya-upaya untuk memperoleh dukungan baik dari pihak swasta maupun dari pemerintah dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat untuk mendapatkan listrik penerangan dan penggerak ekonomi rumah tangga. Hingga saat 17 Agustus 2015 ini, belum ada satu usaha pun membuahkan hasil, namun demikian usaha tetap jalan terus dengan segenap kemampuan yang ada.
Usaha mencari dukungan yang paling anyar dilakukan oleh para Inisiator adalah penggalangan tanda tangan warga untuk Surat Permohonan bantuan alat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hydro (PLTMH) untuk tujuan Penerangan dan Industri Rumah tangga dan alat Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk penerangan lampu jalan yang akan disampaikan kepada Gubernur Sulawesi Selatan melalui Kepala Dinas Sumber Daya Energy dan Mineral (ESDM) Provinsi Sulawesi Selatan yang ditembuskan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Soppeng tepat pada peringatan hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2015.
Akankah ini berhasil? Sangat tergantung pada respon pemerintah. Jika usaha ini juga belum membuahkan hasil, berarti kami masyarakat pelosok yang berjumlah kurang lebih 300 kepala keluarga masih tetap menjalani kebiasaan (takdir) menggunakan lampu penerangan petromak atau lampu teplok (Pajjennangeng) sebagai alat penerangan.
Apakah kami berhak untuk menikmati listrik layaknya masyarakat perkotaan? Kami pun tidak tahu, pesan kami untuk para Pemimpin Negeri “jika belum bisa membantu kami, minimal tidak membebani kami,” itulah harapan warga Umpungeng.
Saat ini dengan kemampuan yang tidak seberapa, muncul inisiatif warga untuk membangun pembangkit listrik PLTMH secara swadaya, hanya saja hasilnya tidak maksimal atau lebih tepatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan warga meski sekedar penerangan. Sebagian warga membeli mesin jenset dan sebagian lagi menggunakan Listri tenaga Surya, sisanya lampu teplok.
Kami pun tidak menyesal dengan keadaan ini. Dibalik kesederhanaan hidup ini pasti ada hikma dan hikmah terbesar adalah kami tidak hidup cengeng dan juga tidak begantung sama siapapun termasuk listrik. Kamihanya tergantung pada sang pencipta dan akrab pada alam yang diciptakannya.
Kami lebih kaget kalau tidak turun hujan daripada tidak ada signal selular, kami lebih prihatin kalausungai-sungai kami berkurang atau kosong dibanding dengan pulsa selular kami berkurang atau kosong. Namun, jika mendapat peluang menggunakan teknologi maka kami pun berjanji untuk menggunakannya demi kelestarian alam.
(Sumber: Desa Umpungeng)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia