Birokrat Kita di Mata Okamoto
Oleh: Hafiz Elfiansya Parawu
Mahasiswa S-3 Administrasi Publik Universitas Negeri Makassar
Potensi pengetahuan dan pengalaman dari kepala/ wakil kepala daerah berlatar belakang birokrat seharusnya dapat memajukan daerah yang dipimpinnya. Realitanya, mereka tidak mampu mewujudkan harapan itu. Mengapa?
Okamoto Masaaki adalah seorang peneliti dari Universitas Kyoto-Jepang yang sedang melakukan penelitian terkait dengan kecenderungan seorang birokrat untuk menduduki posisi sebagai kepala/ wakil kepala daerah pasca runtuhnya rezim Orde Baru di Indonesia.
Walau masih dalam tahap perampungan, hasil sementara penelitian Okamoto menunjukkan bahwa pasca tumbangnya Orde Baru di tahun 1998, mencuat suatu kecenderungan akan semakin besarnya peluang kaum birokrat untuk menjabat posisi sebagai kepala/ wakil kepala daerah. Kaum birokrat maju mengambil alih peran pimpinan daerah yang berlatar belakang militer yang begitu kuat dominasinya pada era Orde Baru.
Okamoto menguatkan hasil sementara penelitiannya dengan mengemukakan argumen dan fakta yang valid bahwa pada tahun 1980, ada sekitar 80 persen gubernur yang berlatar belakang militer.
Sementara itu, pada tahun 1988, untuk tingkat posisi bupati dan wali kota, ada sekitar 58 persen yang berlatar belakang militer.
Namun, Okamoto menemukan bahwa kondisi di era Orde Baru tersebut mulai berbalik pada era desentralisasi atau pasca tahun 1999. Dicontohkannya, pada tahun 2011, dari 112 daerah di Jawa, ada sekitar 55 persen kepala dan wakil kepala daerahnya berasal dari kalangan birokrat. Sedangkan yang berlatar belakang militer tidak lebih dari 5 persen saja. Dan sisanya berlatar belakang politisi dan pengusaha.
Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), Okamoto melihat bahwa dari kalangan birokratlah yang memiliki peluang yang besar untuk terpilih menjadi kepala dan wakil kepala daerah, dan birokrat itu tak lain adalah seorang yang menduduki jabatan sebagai sekretaris daerah (sekda).
Seorang sekda sebagai seorang birokrat, di mata Okamoto, memiliki pengetahuan akan kondisi riil daerahnya dan memiliki pengalaman yang mumpuni dalam mengelola pemerintahan daerah. Bahkan, Okamoto berani mengeluarkan sebuah statement, bahwa kualitas seorang sekda sering kali lebih baik daripada kepala dan wakil kepala daerahnya.
Terpilihnya seorang birokrat yang berpengetahuan dan berpengalaman sebagai kepala/ wakil kepala daerah seharusnya berdampak positif terhadap kemajuan daerah. Namun realita yang terjadi, menurut Okamoto, birokrat yang menjabat sebagai kepala/ wakil kepala daerah belum dapat menunjukkan kemampuan mereka dalam memajukan daerah yang dipimpinnya. Inilah sisi menarik dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal negeri sakura ini.
Ekses Kultur Birokrasi
Menanggapi hasil sementara penelitian Okamoto, penulis cenderung menilai bahwa ketidakmampuan birokrat yang terpilih menjadi kepala/ wakil kepala daerah untuk memajukan daerahnya disebabkan oleh ekses kultur birokrasi yang begitu kuat memengaruhi mereka selama berkarir di pemerintahan.
Pertama, mereka sudah lama hidup dalam sistem birokrasi yang lamban dan berbelit-belit (red tape bureaucracy) serta terjangkit virus korupsi. Hal ini terbukti dari data yang dirilis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) di tahun 2014, bahwa indeks efektivitas pemerintahan kita masih jauh di bawah Singapura, Thailand, Malaysia, dan Philipina, dan dari sisi efisiensi birokrasi, indeks Indonesia berada di level 8,37 dari skala 1-10, dimana negara dengan level indeks 10 berarti birokrasi suatu negara sangat tidak efisien.
Kedua, mereka masih memiliki dependensi yang sangat kuat terhadap bantuan dana dari pusat. Terbukti dari masih banyaknya daerah otonom di negeri ini yang belum berhasil mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri melalui sumber-sumber pendapatan yang dimiliki. Kondisi ini sekaligus menjadi bukti bahwa implementasi desentralisasi belum berhasil memajukan suatu daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang minim kerap menjadi alasan kuat para kepala daerah untuk meminta bantuan keuangan dari pusat dalam bentuk dana perimbangan.
Dan ketiga, sang birokrat terpilih masih mudah dipengaruhi oleh intervensi politik. Memang tak dapat dinafikan, birokrasi, politik, dan kekuasaan merupakan hal yang sulit dilepaskan satu sama lain. Birokrasi dalam perspektif fungsi, tugas, atau pun secara kelembagaan, adalah pelaksana kebijakan politik yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Intervensi politik atau politisasi merupakan kondisi yang pernah juga digusarkan oleh Woodrow Wilson, ketika melihat kecenderungan rusaknya birokrasi profesional di Amerika akibat politisasi.
Evolusi sifat politisasi di Indonesia, dari genre monolitik menjadi polisentris, nampaknya tidak membawa perubahan yang berarti, politik tetap saja memanfaatkan birokrasi. Implikasinya, walaupun birokrasi ditempatkan dalam kedudukan yang netral, dalam praktiknya akan muncul birokrasi partisan yang sangat loyal dan berafiliasi dengan partai politik yang menduduki jabatan politik, padahal secara formal seorang birokrat yang notabene merupakan pegawai negeri sipil tidak boleh menjadi salah satu anggota partai politik.
Berkembangnya birokrasi partisan, berakibat birokrasi tidak mandiri dan tidak memiliki kekuatan penyeimbang kekuasaan dengan kedudukan pejabat politik.
Seorang birokrat yang menjabat sebagai kepala/ wakil kepala daerah seharusnya menjadi pelayan publik yang baik dan terus meningkatkan kapasitas birokrasi di daerahnya.
Sudah bukan zamannya lagi seorang pemimpin daerah berkeluh kesah akan PAD yang minim dan bergantung pada bantuan dana dari pusat. Justru, segala keterbatasan daerah harus dijadikan cambuk untuk terus berpikir dan bertindak kreatif-inovatif guna memajukan daerah. Sang pemimpin juga harus berusaha untuk tidak terjangkit virus korupsi dan sedapat mungkin melepaskan diri dari jeratan politisasi. Semoga ke depannya, pilkada serentak dapat menciptakan kepala/ wakil kepala daerah berlatar belakang birokrat yang dapat membangun daerahnya dan menjadi agent of change sekaligus agent of innovation.
Kritik dan saran: elfiansyahafiz77@gmail.co
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia