SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Menjunjung Bahasa Persatuan dalam Guritan Revolusi Mental

Berita Wajo Terkini
Rabu, 28 Oktober 2015 | 17.50.00 WIB Last Updated 2015-10-28T09:50:14Z


Menjunjung Bahasa Persatuan dalam Guritan Revolusi Mental
(oleh: ASHARI RAMADHAN HAIRIL)

 


       Bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Luar Jaringan versi 1.5.1 adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dari pengertian tersebut maka dapat kita tafsirkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dan pada tingkatan lebih tinggi dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pengguna bahasa itu sendiri. Dalam hal bahasa menjadi identitas suatu masyarakat, maka bahasa itu ada karena masyarakat memakainya. Jika masyarakat kita bawa ke tingkatan yang lebih tinggi mejadi sebuah bangsa, maka pernyataan bahwa bahasa ada karena ada bangsa yang memakainya sehingga menunjukkan identitas dari bangsa penutur bahasa tersebut, maka pernyataan itu bisa jadi benar adanya, misalnya bangsa Indonesia dengan bahasa Indonesia, bangsa Cina dengan bahasa Cina, bangsa Jepang dengan bahasa Jepang, bangsa Prancis dengan bahasa Prancis, bangsa Inggris dengan bahasa Inggris, atau bangsa Jerman dengan bahasa Jerman. Tapi pada fakta sosiolinguistik menunjukkan bahwa tidak setiap bangsa mempunyai bahasa kesatuan yang menjadi identitas mereka, misalnya bangsa Amerika Serikat, Filiphina, atau Australia. Bangsa-bangsa tersebut menggunakan bahasa Inggris yang merupakan bahasa bangsa Inggris. Jadi dalam kasus ini apakah bahasa masih menjadi identitas dari sebuah bangsa?, mari kita jawab. Ada kesamaan dari bangsa Amerika Serikat, Filiphina, atau Australia, bangsa-bangsa tersebut pernah dijajah oleh bangsa Inggris, sehingga mereka masih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Bahasa Inggris yang digunakan oleh bangsa Amerika Serikat, Filiphina, India, atau Australia tetap menjadi identitas mereka, identitas sebagai bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa Inggris.  
       Tidak semua bangsa di dunia mempunyai bahasa sendiri, sebagian bangsa masih menggunakan bahasa dari bangsa yang pernah menjajah mereka. Kita patut berbangga diri karena mempunyai bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dan menanggalkan identitas bahwa kita adalah bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Bahasa Indonesia mulai dikenal luas sejak ikrar Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. “Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”, begitulah isi ikrar ketiga Sumpah Pemuda yang menjadi awal Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang menjadi identitas bangsa Indonesia. Pasca Sumpah Pemuda Bahasa Indonesia memegang peranan yang sangat penting dalam masa pergerakan kemerdekaan. Bahasa Indonesia dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah ego kedaerahan. Budaya dan bahasa yang berbeda-beda dapat menjadi penghambat hubungan antar daerah, tapi dengan hadirnya Bahasa Indonesia, maka suku daerah yang satu dan daerah yang lain dapat menjalin komunikasi yang baik sehingga terjadi kesepahaman yang mendorong pergerakan kemerdekaan mejadi lebih masif. Bukan hanya sebagai alat komunikasi antar daerah, Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai alat perjuangan kaum pro-kemerdekaan di dalam pemerintahan. Kelompok pro-kemerdekaan dalam pemerintahan terus menggunakan Bahasa Indoensia sebagai alat perjuangan mereka khususnya dalam lembaga Volksraad (Dewan Perwakilan Hinida Belanda/DPR). Salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan sehingga Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam sidang-sidang Volksraad adalah Muhammad Husni Thamrin. M.H. Thamrin sangat mengecam keras tindakan-tindakan yang mengecilkan arti Bahasa Indoensia, melalui Fraksi Nasional yang dipimpinnya akhirnya pada tahun 1938 Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam sidang-sidang Volksraad. Setelah Bahasa Indonesia resmi digunakan oleh Volksraad muncul tokoh-tokoh lain yang juga memperjuangkan bahasa yang kelak menjadi bahasa resmi Negara Indoensia, mereka adalah Soeroso, Abdoel Rasjid, Soengkoepon, Wirjopranoto Iskandar Dinata, dan Datoe Toemenggoeng. Namun sebelum perjuangan M. H. Thamrin dan kawan-kawan dalam memperjuangkan Bahasa Indoensia, menurut Azizah Etek dalam Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939 mengatakan bahwa perintis penggunaan Bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad adalah H. Agoes Salim dan Jahja Datoek Kajo yang dimulai sejak 1927 setahun sebelum Sumpah Pemuda.
       Puncaknya pada tanggal 18 Agustus 1945 Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional yang dimuat dalam UUD 1945 dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagai sebuah bangsa maka sepatutnya untuk menjaga salah satu identitas kita yaitu Bahasa Indonesia, bahasa yang lahir karena adanya Bangsa Indoensia, bukan bahasa yang lahir karena pernah menjadi jajahan bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Sudah 70 tahun sejak Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, dalam perjalanannya bahasa yang diperjuangkan oleh M. H. Thamrin  ini mulai terpinggirkan oleh bangsanya sendiri. Penggunaan Bahasa Indonesia mulai tergerus oleh perkembangan yang disebut globalisasi (untuk tidak menyebutnya sebagai westernisasi), kosakata asli Bahasa Indonesia mulai tergantikan dengan kosakata bahasa asing khususnya bahasa inggris. Alasannya mungkin sederhana agar telihat lebih keren, lebih akademis, atau bahkan mungkin terkesan ilmiah. Melihat fenomena tersebut maka penjelasan dari budayawan R. Kurjana Rahardi mungkin bisa menjawab fenomena tersebut, beliau menjelaskan bahwa “Budaya kita inikan budaya yang suka gumunan, suka terpesona kepada barangnya orang lain, pada bahasanya orang lain. Semangat untuk menggunakan bahasa sendiri, menggunakan bahasa-bahasa yang lokal, itu hampir tidak muncul”.
       Pemerintah sebagai representasi dari Bangsa Indonesia tentunnya harus menjadi tameng dalam melindungi Bahasa Indonesia dari kerakusan bangsanya sendiri yang kecanduan mencampur adukkan bahasa asing dengan bahasa nasionalnya sendiri. Dalam suksesi kempemimpinan yang lalu, pemimpin terpilih dalam jualan politiknya memunculkan sebuah guritan yang berjudul Revolusi Mental. Revolusi yang akan mengubah pola pikir Bangsa Indonesia yang dulunya selalu berpikir negatif menjadi selalu berpikir positf, dan selalu percaya kepada kemampuan sendiri. Tampaknya dendangan guritan Revolusi Mental mejadi sebuah solusi sanggal dan mangkus untuk membelokkan pernyataan dari R. Kurjana Rahardi. Sebuah guritan indah yang bisa jadi (untuk tidak menyebutnya mudah-mudahan menjadi) jawaban dari kemeresotan moral yang melanda bangsa ini. Setahun Revolusi Mental bergema di seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, namun Bahasa Indonesia belum mampu kembali ke tempat yang seharusnya. Revolusi Mental terus mendapat nyinyiran dari seluruh lapisan masyarakat yang telah mimpi basah akibat erotisme Revolusi Mental. Pemerintah yang menjadi tameng untuk melindungi Bahasa Indonesia justru ikut-ikutan rakus melahap kosakata Bahasa Indonesia dan menggantinya dengan bahasa asing. Dalam sebuah acara pengahargaan transmigrasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggunakan istilahTransmigration Award,atau saat acara penghargaan pajak oleh Kementerian Keuangan dengan menggunakan istilahTax Award, bukankah kata award masih mempunyai padanan dengan kosa kata Bahasa Indoensia yaitu apresiasi.
      Revolusi Mental yang merupakan duplikasi dari ajaran Tri Sakti Bung Karno yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Jika saja revolusi mental mampu merevolusi kepribadian bangsa Indoensia maka persolaan terpinggirkannya Bahasa Indoensia di tanahnya sendiri mungkin akan terselesaikan, sehingga Bahasa Indonesia dapat kembali digunakan sebagai alat perjuangan dalam era globalisasi. Peristiwa paling sahih kembali ditendangnya Bahasa Indonesia di tanahnya sendiri yaitu kebijakan sang Revolusionaris Mental yang kembali mengeluarkan kebijakan bahwa pekerja asing di Indonesia tidak wajib Berbahasa Indonesia. Pemerintah berdalih kebijakan tersebut untuk mengundang investor asing, terdengar cukup menggelitik, ketika semua komposisi modal dalam negeri dipenuhi oleh modal asing, maka bisa dibayangkan kondisi ekonomi negara tercinta ini, dimana keberdikarian kita dalam ekonomi komandan. Mari kesampingkan masalah keberdikarian ekonomi karena kita di sini hanya berbicara berkepribadian secara sosial budaya. Kebijakan penggunaan Bahasa Indonesia untuk pekerja asing ini sangat kontradiktif dengan guritan Revolusi Mental, dimana kepribadian dengan mengedepandakan sosial budaya menjadi sebuah senjata untuk menjaga eksisitensi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa tentunya mencerminkan kepribadian yang berakar pada budaya bangsa Indonesia tentunya bisa menjadi senjata yang berguna untuk menahan gempuran pekerja asing ke Indonesia. Bahasa Indonesia seharusnya bisa menjadi hambatan agar pekerja asing tidak dengan begitu mudahnya berserakan di ruang-ruang kantor di negeri ini. Kalau hal-hal kecil seperti ini tidak bisa kita revolusi maka bagaimana dengan kedaulatan politik dan keberdikarian ekonomi yang juga menjadi sasaran Revolusi Mental.
       Bahasa Indonesia nasib mu kini, dulu kau digunakan sebagai senjata perjuangan, dengan lantang H. Agoes Salim dan Jahja Datoek Kajo berpidato menggunakan Bahasa Indoensia di hadapan para menir, dengan semangat perjuang dan persatuan para putra putri terbaik bangsa Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda, dan dengan frontal Moehammad Husni Thamrin dan kawan-kawan mengecam keras para pengecil Bahasa Indonesia di Volksraad. Kini tak ada kelantangan dan gema Bahasa Indonesia, tak ada lagi semangat dan persatuan menjunjung bahasa persatuan, dan tak ada lagi kecaman bagi para pengecil Bahasa Indonesia. Yang ada kini hanyalah ketidak banggaan akan Bahasa Indonesia, pengecilan terhadap Bahasa Indonesia, dan ketidakpekaan terhadap identitas bangsa yang mungkin akan tergerogoti oleh budaya luar dengan pembenaran globalisasi. Bahasa tentu bukan satu-satunya alat untuk mengukur kadar nasionalisme suatu bangsa, namun Bahasa Indonesia merupakan pilihan politik bangsa Indonesia sebelum dan setelah negara Indonesia lahir. Maka sebagai generasi penerus bangsa maka sepatutnya Bahasa Indonesia sebagai identitas dan pilihan politik para pendahulu bangsa dan negara ini harus tetap kita jaga dan lestarikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentunya tetap harus mengikuti perkembangan dan kepentingan dunia tetapi seharusnya tetap meletakkan kepentingan dan perkembangan nasional di atas perkembangan dan kepentingan dunia, sama seperti seharusnya kita menjunjung dan meletakkan Bahasa Indonesia pada posisi yang lebih tinggi dari bahasa asing.
       Revolusi Mental yang sebenarnya bisa menjadi titik terang permasalahan ini, ternyata belum mampu berbuat banyak, dan bahkan semakin mengecilkan dan mempersempit serta tidak melindungi Bahasa Indonesia. Untuk para pemuda(di) Indonesia yang hidup 87 tahun yang lalu, hari ini kami masih dijejali dengan sumpah yang sama dengan kalian, tapi kita hidup di zaman yang berbeda. Kami hidup di zaman lantunan dendang guritan Revolusi Mental yang membuat terlelap dan dalam tidur kami ia hadirkan revolusi di bawah kibaran kutang setengah tiang yang erotis sehingga ketika kami terbangun kami baru sadar Revolusi Mental hanya menghadirkan mimpi basah. Teruntuk Bapak Presiden sang revolusionaris yang sudah mumet dengan nyinyiran dan skeptisme terhadap Revolusi Mental ada kalimat bijak (atau mungkin sebuah hadis) yang mengatakan bahwa “Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian di luar kemampuan hambaNya”, Presiden juga hamba Tuhan, jadi Tuhan tidak akan memberikan ujian di luar kemampuan Presiden. Tapi kalimat tersebut mungkin akan terbantahkan karena terkadang dosen sering memberikan ujian di luar kemampuan mahasiswanya. Jadi teruslah berdoa Bapak Presiden mudah-mudahan Tuhan kali ini tidak menjadi seperti dosen dan minta pula kepada Tuhan agar masyarakat Indonesia menjadi sabar untuk menunggu efek Revolusi Mental sesabar pendukung F.C Internazionale Milano yang menunggu bentuk permainan terbaik dari Kondogbia dan Biabiany. Dan karena tulisan ini adalah edisi sumpah pemuda maka tak lupa saya ucapkan kepada para pembaca yang budiman Selamat Hari Sumpah Pemuda bagi yang masih mempercayai bahwa sumpah itu memang ada”.
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Menjunjung Bahasa Persatuan dalam Guritan Revolusi Mental

Trending Now