Menjunjung Bahasa Persatuan dalam Guritan Revolusi Mental
(oleh: ASHARI RAMADHAN
HAIRIL)

Bahasa menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Luar Jaringan versi 1.5.1 adalah sistem lambang bunyi yang
arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Dari pengertian tersebut maka dapat
kita tafsirkan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh
masyarakat untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dan pada tingkatan
lebih tinggi dapat menunjukkan identitas dari masyarakat pengguna bahasa itu
sendiri. Dalam hal bahasa menjadi identitas suatu masyarakat, maka bahasa itu
ada karena masyarakat memakainya. Jika masyarakat kita bawa ke tingkatan yang
lebih tinggi mejadi sebuah bangsa, maka pernyataan bahwa bahasa ada karena ada
bangsa yang memakainya sehingga menunjukkan identitas dari bangsa penutur
bahasa tersebut, maka pernyataan itu bisa jadi benar adanya, misalnya bangsa Indonesia dengan bahasa
Indonesia, bangsa Cina dengan bahasa Cina, bangsa Jepang dengan bahasa Jepang,
bangsa Prancis dengan bahasa Prancis, bangsa Inggris dengan bahasa Inggris,
atau bangsa Jerman dengan bahasa Jerman. Tapi pada fakta sosiolinguistik menunjukkan
bahwa tidak setiap bangsa mempunyai bahasa kesatuan yang menjadi identitas
mereka, misalnya bangsa Amerika Serikat, Filiphina, atau Australia.
Bangsa-bangsa tersebut menggunakan bahasa Inggris yang merupakan bahasa bangsa
Inggris. Jadi dalam kasus ini apakah bahasa masih menjadi identitas dari sebuah
bangsa?, mari kita jawab. Ada kesamaan dari bangsa Amerika Serikat, Filiphina,
atau Australia, bangsa-bangsa tersebut pernah dijajah oleh bangsa Inggris,
sehingga mereka masih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Bahasa
Inggris yang digunakan oleh bangsa Amerika Serikat, Filiphina, India, atau
Australia tetap menjadi identitas mereka, identitas sebagai bangsa yang pernah
dijajah oleh bangsa Inggris.
Tidak semua bangsa di dunia mempunyai
bahasa sendiri, sebagian bangsa masih menggunakan bahasa dari bangsa yang
pernah menjajah mereka. Kita patut berbangga diri karena mempunyai bahasa
Indonesia sebagai identitas bangsa dan menanggalkan identitas bahwa kita adalah
bangsa yang pernah dijajah oleh bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan
Jepang. Bahasa Indonesia mulai dikenal luas sejak ikrar Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928. “Kami putra
dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”,
begitulah isi ikrar ketiga Sumpah
Pemuda yang menjadi awal Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang
menjadi identitas bangsa Indonesia. Pasca Sumpah Pemuda Bahasa Indonesia
memegang peranan yang sangat penting dalam masa pergerakan kemerdekaan. Bahasa
Indonesia dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa di tengah ego
kedaerahan. Budaya dan bahasa yang berbeda-beda dapat menjadi penghambat hubungan
antar daerah, tapi dengan hadirnya Bahasa Indonesia, maka suku daerah yang satu
dan daerah yang lain dapat menjalin komunikasi yang baik sehingga terjadi
kesepahaman yang mendorong pergerakan kemerdekaan mejadi lebih masif. Bukan
hanya sebagai alat komunikasi antar daerah, Bahasa Indonesia juga digunakan sebagai alat perjuangan kaum
pro-kemerdekaan di dalam pemerintahan. Kelompok pro-kemerdekaan dalam
pemerintahan terus menggunakan Bahasa Indoensia sebagai alat perjuangan mereka
khususnya dalam lembaga Volksraad
(Dewan Perwakilan Hinida Belanda/DPR). Salah satu tokoh yang gigih
memperjuangkan sehingga Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam sidang-sidang Volksraad adalah Muhammad Husni Thamrin.
M.H. Thamrin sangat mengecam keras tindakan-tindakan yang mengecilkan arti
Bahasa Indoensia, melalui Fraksi Nasional yang dipimpinnya akhirnya pada tahun 1938 Bahasa
Indonesia dapat digunakan dalam sidang-sidang Volksraad. Setelah Bahasa Indonesia resmi digunakan oleh Volksraad muncul tokoh-tokoh lain yang
juga memperjuangkan bahasa yang kelak menjadi bahasa resmi Negara Indoensia,
mereka adalah Soeroso, Abdoel Rasjid, Soengkoepon, Wirjopranoto Iskandar Dinata,
dan Datoe Toemenggoeng. Namun sebelum perjuangan M. H. Thamrin dan kawan-kawan
dalam memperjuangkan Bahasa Indoensia, menurut Azizah Etek dalam Kelah Sang Demang Jahja Datoek Kajo, Pidato
Otokritik di Volksraad 1927-1939 mengatakan bahwa perintis penggunaan
Bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad
adalah H. Agoes Salim dan Jahja Datoek Kajo yang dimulai sejak 1927 setahun
sebelum Sumpah Pemuda.
Puncaknya pada tanggal 18 Agustus 1945
Bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa nasional yang dimuat dalam UUD 1945 dan disahkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sebagai sebuah bangsa maka sepatutnya untuk menjaga
salah satu identitas kita yaitu Bahasa Indonesia, bahasa yang lahir karena
adanya Bangsa Indoensia, bukan bahasa yang lahir karena pernah menjadi jajahan
bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang. Sudah 70 tahun sejak
Bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional, dalam perjalanannya bahasa yang
diperjuangkan oleh M. H. Thamrin ini
mulai terpinggirkan oleh bangsanya sendiri. Penggunaan Bahasa Indonesia mulai
tergerus oleh perkembangan yang disebut globalisasi (untuk tidak menyebutnya
sebagai westernisasi), kosakata asli Bahasa Indonesia mulai tergantikan dengan
kosakata bahasa asing khususnya bahasa inggris. Alasannya mungkin
sederhana agar telihat lebih keren, lebih akademis, atau bahkan mungkin
terkesan ilmiah. Melihat fenomena tersebut maka penjelasan dari budayawan R.
Kurjana Rahardi mungkin bisa menjawab fenomena tersebut, beliau menjelaskan
bahwa “Budaya kita inikan budaya yang
suka gumunan, suka terpesona kepada barangnya orang lain, pada bahasanya orang lain. Semangat untuk
menggunakan bahasa sendiri, menggunakan bahasa-bahasa yang lokal, itu hampir
tidak muncul”.
Pemerintah sebagai
representasi dari Bangsa
Indonesia tentunnya harus menjadi tameng dalam melindungi Bahasa Indonesia dari
kerakusan bangsanya sendiri yang kecanduan mencampur adukkan bahasa asing dengan bahasa nasionalnya sendiri. Dalam suksesi
kempemimpinan yang lalu, pemimpin terpilih dalam jualan politiknya memunculkan
sebuah guritan yang berjudul Revolusi Mental. Revolusi yang akan mengubah pola
pikir Bangsa Indonesia yang dulunya selalu berpikir negatif menjadi selalu
berpikir positf, dan selalu percaya kepada kemampuan sendiri. Tampaknya
dendangan guritan Revolusi Mental mejadi sebuah solusi sanggal dan mangkus
untuk membelokkan pernyataan dari R. Kurjana Rahardi. Sebuah guritan indah yang
bisa jadi (untuk tidak menyebutnya mudah-mudahan menjadi) jawaban dari
kemeresotan moral yang melanda bangsa ini. Setahun Revolusi Mental bergema di
seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau
Rote, namun Bahasa Indonesia belum mampu kembali ke tempat yang seharusnya.
Revolusi Mental terus mendapat nyinyiran dari seluruh lapisan masyarakat yang
telah mimpi basah akibat erotisme Revolusi Mental. Pemerintah yang menjadi
tameng untuk melindungi Bahasa Indonesia justru ikut-ikutan rakus melahap
kosakata Bahasa Indonesia dan menggantinya dengan bahasa asing. Dalam sebuah
acara pengahargaan transmigrasi oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
menggunakan istilahTransmigration
Award,atau saat acara penghargaan pajak oleh Kementerian Keuangan
dengan menggunakan istilahTax Award,
bukankah kata award masih
mempunyai padanan dengan kosa kata Bahasa Indoensia yaitu apresiasi.
Revolusi Mental yang merupakan duplikasi
dari ajaran Tri Sakti Bung Karno yaitu berdaulat secara politik, berdikari
secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya. Jika saja revolusi
mental mampu merevolusi kepribadian bangsa Indoensia maka persolaan
terpinggirkannya Bahasa Indoensia di tanahnya sendiri mungkin akan
terselesaikan, sehingga Bahasa Indonesia dapat kembali digunakan sebagai alat
perjuangan dalam era globalisasi. Peristiwa paling sahih kembali ditendangnya
Bahasa Indonesia di tanahnya sendiri yaitu kebijakan sang Revolusionaris Mental
yang kembali mengeluarkan kebijakan bahwa pekerja asing di Indonesia tidak
wajib Berbahasa Indonesia. Pemerintah berdalih kebijakan tersebut untuk
mengundang investor asing, terdengar cukup menggelitik, ketika semua komposisi
modal dalam negeri dipenuhi oleh modal asing, maka bisa dibayangkan kondisi
ekonomi negara tercinta ini, dimana keberdikarian kita dalam ekonomi komandan.
Mari kesampingkan masalah keberdikarian ekonomi karena kita di sini hanya
berbicara berkepribadian secara sosial budaya. Kebijakan penggunaan Bahasa
Indonesia untuk pekerja asing ini sangat kontradiktif dengan guritan Revolusi
Mental, dimana kepribadian dengan mengedepandakan sosial budaya menjadi sebuah
senjata untuk menjaga eksisitensi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa Indonesia
sebagai identitas bangsa tentunya mencerminkan kepribadian yang berakar pada
budaya bangsa Indonesia tentunya bisa menjadi senjata yang berguna untuk
menahan gempuran pekerja asing ke Indonesia. Bahasa Indonesia seharusnya bisa
menjadi hambatan agar pekerja asing tidak dengan begitu mudahnya berserakan di
ruang-ruang kantor di negeri ini. Kalau hal-hal kecil seperti ini tidak bisa
kita revolusi maka bagaimana dengan kedaulatan politik dan keberdikarian
ekonomi yang juga menjadi sasaran Revolusi Mental.
Bahasa Indonesia nasib mu kini, dulu kau
digunakan sebagai senjata perjuangan, dengan lantang H. Agoes Salim dan Jahja Datoek Kajo berpidato
menggunakan Bahasa Indoensia di hadapan para menir, dengan semangat perjuang dan persatuan para putra putri terbaik
bangsa Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda, dan dengan frontal Moehammad Husni
Thamrin dan kawan-kawan mengecam keras para pengecil Bahasa Indonesia di Volksraad. Kini tak ada kelantangan dan
gema Bahasa Indonesia, tak ada lagi semangat dan persatuan menjunjung bahasa
persatuan, dan tak ada lagi kecaman bagi para pengecil Bahasa Indonesia. Yang
ada kini hanyalah ketidak banggaan
akan Bahasa Indonesia, pengecilan terhadap Bahasa Indonesia, dan ketidakpekaan
terhadap identitas bangsa yang mungkin akan tergerogoti oleh budaya luar dengan
pembenaran globalisasi. Bahasa tentu bukan satu-satunya alat untuk mengukur
kadar nasionalisme suatu bangsa, namun Bahasa Indonesia merupakan pilihan
politik bangsa Indonesia sebelum dan setelah negara Indonesia lahir. Maka
sebagai generasi penerus bangsa maka sepatutnya Bahasa Indonesia sebagai
identitas dan pilihan politik para pendahulu bangsa dan negara ini harus tetap
kita jaga dan lestarikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah
tentunya tetap harus mengikuti perkembangan dan kepentingan dunia tetapi seharusnya
tetap meletakkan kepentingan dan perkembangan nasional di atas perkembangan dan
kepentingan dunia, sama seperti seharusnya kita menjunjung dan meletakkan
Bahasa Indonesia pada posisi yang lebih tinggi dari bahasa asing.
Revolusi Mental yang
sebenarnya bisa menjadi titik terang permasalahan ini, ternyata belum mampu
berbuat banyak, dan bahkan semakin mengecilkan dan mempersempit serta tidak
melindungi Bahasa Indonesia. Untuk para pemuda(di) Indonesia yang hidup 87
tahun yang lalu, hari ini kami masih dijejali dengan sumpah yang sama dengan
kalian, tapi kita hidup di zaman yang berbeda. Kami hidup di zaman lantunan
dendang guritan Revolusi Mental yang membuat terlelap dan dalam tidur kami ia hadirkan
revolusi di bawah kibaran kutang setengah tiang yang erotis sehingga ketika
kami terbangun kami baru sadar Revolusi Mental hanya menghadirkan mimpi basah. Teruntuk Bapak
Presiden sang revolusionaris yang sudah mumet dengan nyinyiran dan skeptisme
terhadap Revolusi Mental ada kalimat bijak (atau mungkin sebuah hadis) yang
mengatakan bahwa “Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian di luar kemampuan
hambaNya”, Presiden juga hamba Tuhan, jadi Tuhan tidak akan memberikan ujian di
luar kemampuan Presiden. Tapi kalimat tersebut mungkin akan terbantahkan karena
terkadang dosen sering memberikan ujian di luar kemampuan mahasiswanya. Jadi
teruslah berdoa Bapak Presiden mudah-mudahan Tuhan kali ini tidak menjadi
seperti dosen dan minta pula kepada Tuhan agar masyarakat Indonesia menjadi
sabar untuk menunggu efek Revolusi Mental sesabar pendukung F.C Internazionale Milano yang menunggu
bentuk permainan terbaik dari Kondogbia dan Biabiany. Dan
karena tulisan ini adalah edisi sumpah pemuda maka tak lupa saya ucapkan kepada
para pembaca yang budiman Selamat Hari Sumpah Pemuda bagi yang masih
mempercayai bahwa sumpah itu memang ada”.
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia