Wajoterkini.com - Den Haag, Korupsi telah menjalar hampir ke seluruh partai politik (parpol), yang akan berkompetisi di pemilu 2014. Parpol-parpol mapan bahkan telah secara sistemik tersangkut praktik kejahatan ini. Setiap hari, berita di media ibarat absensi mereka: satu per satu terjerat, hingga nyaris tidak ada yang benar-benar bersih.
Mengapa fenomena ini bisa terjadi? Meskipun terdengar seperti lagu lama, saya akan mengatakan bahwa selain ketamakan pribadi pelaku-pelaku politik, biaya demokrasi yang sangat tinggi juga ikut memicu parpol-parpol untuk menggalang dana haram melalui cara-cara kriminal. Celah-celah untuk itu telah dirancang oleh mereka sendiri melalui UU No. 2 Tahun 2011 yang antara lain mengatur pendanaan parpol, bahwa parpol diperkenankan untuk menarik dana dari berbagai sumber, yaitu iuran anggota, bantuan perseorangan/perusahaan/kelompok, dan bantuan APBN/APBD. Perhatikan: dalam UU ini, tidak dibatasi berapa maksimal bantuan yang boleh diberikan oleh perseorangan. Artinya memungkinkan sekali bagi parpol untuk ‘menugaskan’ anggotanya menggalang dana dari sumber apa saja atas nama anggotanya.
Dana yang diperlukan untuk proses demokrasi, untuk keperluan kampanye, baik yang bersifat nyata maupun ‘bawah tanah’, memang sangat besar. Keperluan nyata meliputi pengadaan logistik seperti spanduk, poster, dan perangkat kampanye, termasuk kampanye di media yang terbilang tidak murah. Untuk keperluan ‘bawah tanah’ diduga bisa lebih banyak, termasuk ‘money politics’, serangan fajar, juga untuk transaksi politik. Transaksi politik ini agar secara moral terkesan sah dan halal sering disamarkan juga sebagai uang ‘mahar’, yang nilainya bermiliar-miliar.
Bagaimana menghancurkan budaya demokrasi biaya tinggi serta memutus lingkaran setan partai politik dan korupsi ini? Merujuk kembali pada makna demokrasi, yaitu kekuasaan tertinggi ada pada rakyat, maka kembali kepada rakyat untuk berbuat melakukan perubahan. Kekuatan opini di masyarakat akan mampu mengubah konstelasi demokrasi di Indonesia. Di berbagai pilkada telah terbukti bahwa uang bukan segalanya. Bukan calon dengan uang terbanyak yang menang, melainkan calon (dan partai pengusung) yang mampu meyakinkan untuk perubahan: Jokowi di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya dan Ridwan Kamil di Bandung merupakan contoh dalam hal ini.
Proses semacam ini memang membutuhkan waktu cukup lama, bisa puluhan tahun lamanya. Dengan usia demokrasi terbilang muda, sekitar 15 tahun, Indonesia masih butuh banyak belajar dan terus mengevaluasi diri dalam menjalani demokrasi. Sikap kritis masyarakat, karakter terbuka dalam menyampaikan pendapat, termasuk semangat menghukum individu dan partai politik yang korup perlu terus dikembangkan. Perlahan, selera masyarakat secara keseluruhan pun akan berubah dan kualitas demokrasi kita pun akan membaik. Pada suatu titik kelak, lingkaran setan itu pun akan putus terdobrak.
Keterangan penulis:
Penulis adalah pemerhati Sosial Politik, tinggal di Den Haag.
Sumber: detik.com
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia