Jum'at 14 Maret 2025

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Masih MARADEKA Kah TOWADJO’E di Kota Penghasil Gas

Berita Wajo Terkini
Kamis, 26 Maret 2015 | 15.36.00 WIB Last Updated 2015-03-29T18:43:21Z

WAJOTERKINI.COM --- Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Pemerintahan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini terkenal dengan sebutan kota sutera dan juga kota santri. Memasuki usia 616 tahun sangat miris kota yang dujuluki kota santri ini ternyata merupakan wilayah terbesar ketiga dalam peredaran narkoba di Sulawesi Selatan dan wilayah terbesar kedua setelah Makassar dalam penyebaran penyakit HIV AIDS di Sulawesi Selatan. 

Pengaruh globalisasi atau mungkin lebih tepatnya baratnisasi (westernisasi-baca) menjadi salah satu penyebab dari pergeseran kota santri menjadi kota narkoba dan HIV AIDS. Kemudahan untuk mengakses tempat-tempat hiburan malam yang konon kabarnya juga menyediakan jasa prostitusi, menyediakan minuman keras dan bahkan sering digunakan sebagai tempat pesta narkoba di daerah ini mungkin bisa menjelaskan pergesaran predikat Kabupaten Wajo dari kota santri menjadi kota narkoba dan HIV AIDS.

Selain dari beberapa hal yang diungkapkan di atas Kabupaten Wajo juga terkenal dengan daerah penghasil gas alam terbesar di Sulawesi Selatan dan sekaligus penyangga kebutuhan listrik di Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral terdapat 19 sumur gas di kabupaten ini, 3 diantaranya saat ini telah dikelola oleh PT. Energi Equity Epic Sengkang (PTEEES) dengan wilayah kerja Blok Sengkang. Wilayah kerja tersebut dikelola oleh PT. Energi Equity Epic Sengkang (PTEEES) sejak tahun 1970 dan telah diperpanjang hingga tahun 2020 oleh pemerintah pusat. Sumur tersebut terdapat di Kampung Baru Desa Poleonro, Jl. Poros Palopo Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo. Gas yang diproduksi dari lapangan Kampung Baru tersebut kemudian dijual kepada pembangkit listrik Combine Sycle (PLTGU) PT. Energi Sengkang (PTES) yang berada di Desa Patila, Kecamatan Pammana, Kabupaten Wajo untuk konsumsi daya sebesar 375 MW. Selain itu PT. Energi Equity Epic Sengkang (PTEEES) juga memasok kebutuhan gas untuk pembangkit yang dioperasikan oleh PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) yang juga berlokasi di Desa Patila.

Selain di Kecamatan Gilireng dan Pammana, di Kecamatan Keera tepatnya di Desa Pattiroloka, Dusun Langkenna kini sedang dibangun kilang LNG (Liquidfield Natural Gas) dimana nantinya akan dikelola oleh PT. South Sulawesi LNG (PT. SSLNG) dan proses pembangunan tersebut dikerjakan oleh PT. Slipform Indonesia (PTSI). Potensi gas alam di kabupaten yang tanggal 29 Maret 2015 genap berusia 616 tahun ini memang sangat menjanjikan. Di Kabupaten Wajo terdapat lima perusahan yang mengelola potensi gas alam yang jumlahnya mencapai 600 Milyar Standar Kaki Kubik (BSCF), perusahaan-perusahaan tersebut merupakan perusahaan modal asing (PMA) yang masing-maing mejalankan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir. Kegiatan usaha hulu dijalankan oleh PT. Energy Equity Epic Sengkang (PTEEES) dan PT. Slipfrom Indonesia (PTSI), sedangkan kegitan usaha hilir dijalankan oleh PT. Energi Sengkang (PTES), PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) dan PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG). 

Dengan potensi gas alam dan investasi yang ditanamkan di Kabupaten Wajo maka seharusnya daerah ini mempunyai tingkat kesejahteraan masyarakat yang tinggi dibanding dengan daerah lain. Tolak ukur yang disepakti bersama untuk mengetahui tingkat kesejahtraan suatu daerah adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terdiri dari tiga indikator yaitu : kualitas kesehatan, kualitas pendidikan, dan kualitas ekonomi. Namun ternyata IPM Kabupaten Wajo Tahun 2104 berada pada urutan 14 dari 24 kabupaten/kota yang berada pada wilayah Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan. 

Sangat aneh kemudian ketika melihat daerah yang kaya dengan gas alam tapi mempunyai tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah seperti Kabupaten Wajo. Kabupaten Wajo seharusnya mampu menghasilkan pendapatan daerah lebih yang lebih tinggi dari kabupaten-kabupten lain sebab adanya potensi bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam gas bumi sesuai dengan pasal 11 ayat 3 huruf e Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Adapun mengenai besarnya komposisi dana bagi hasil tersebut diatur dalam pasal 14 huruf f Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berbunyi penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perudang-undangan dibagi dengan imbangan :
1      1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk pemerintah; dan
2      2.  30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah.

Fakta menarik kemudian mencuat pada tahun 2010 ternyata selama berpuluh-puluh tahun beroperasi di Kabupaten Wajo PT. Energi Equity Epic Sengkang (PTEEES), pemerintah daerah belum pernah menerima dana bagi hasil seperti yang diatur dalam undang-undang. Pihak perusahaan berkilah bahwa dana bagi hasil belum diberikan karena gas yang dihasilkan selama ini jauh dari standar sehingga pihak perusahaan mengalami kerugian. Hal yang tentunya menjadi sangat janggal ketika berpuluh-puluh tahun beoperasi namun selalu mengalami kerugian. Dari infromasi yang berhasil dikumpulkan ternyata kelima perusahaan asing yang beroperasi di Kabupaten Wajo tersebut merupakan bagian dari Energy World Corporation (EWC). Strategi yang digunakan oleh Energy World Corporation (EWC) dengan melaksanakan kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir melalui perusahaan afilasinya tentu telah melanggar undang-undang yang berlaku di Indoensia khusunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 

Dalam pasal 1 nomor 7 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi mengatakan bahwa kegiatan usaha hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada usaha eksplorasi dan eksploitasi. Sementara di pasal 8 di undang-undang yang sama menjelaskan bahwa eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh infomasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan. Sedangkan ekploitasi menurut pasal 9 masih di undang-undang yang sama adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. Dari pengertian tersebut maka kegiatan usaha hulu tersebut dilakukan oleh PT. Energi Equity Epic Sengkang (PTEEES) dan PT. Slipform Indonesia (PTSI). Lebih jauh dalam pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi menyatakan bahwa kegiatan usaha hilir adalah kegiatan yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan/atau niaga. Dari pengertian tersebut maka kegiatan usaha hilir dilakukan oleh PT. Energi Sengkang (PTES), PT. Slipform Indoensia (PTSI), PT. Consolidated Electric Power Asia (PT.CEPA), dan PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG).

Strategi ini tentu sangat merugikan pemerintah daerah karena bisa saja terjadi permainan harga antar perusahaan (penerapan strategi harga tranfer), misalnya PT. Energy Equty Epic Sengkang (PTEEES) selaku kegiatan usaha hulu menjual harga gas kepada PT. Energi Sengkang (PTES) atau PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) di bawah harga pasar sehingga PT. Energy Equty Epic Sengkang (PTEEES) seolah-olah mengalami kerugian, sedangkan PT. Energi Sengkang (PTES) atau PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) dapat menjual listriknya ke PLN dengan harga yang tinggi. Kemungkinan lainya adalah dengan memainkan biaya pembangunan sarana dan prasaran produksi. Misalnya dalam pembangunan kilang LNG, PT. Slipform Indonesia bisa saja menaikkan biaya (markup) pembangunan sarana dan prasarana kilang LNG, sehingga mengakibatkan kenaikan investasi untuk pembangunan kilang tersebut. Tingginya nilai investasi tentunya mengakibatkan tingkat pengembalian modal (break even point- BEP) yang  juga semakin lama dan ketika beroperasi maka PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG) akan memberikan dana bagi hasil ke pemerintah lebih lama dari yang seharusnya karena telah terjadi peningkatan nilai (markup) investasi. Dugaan lain yang muncul bahwa ternyata hanya PT. Energy Equty Epic Sengkang (PTEEES) yang berkewajiban memberikan dana bagi hasil ke Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo, sedangkan PT. Energi Sengkang (PTES),  PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) dan PT. Slipform Indoensia (PTSI) tidak berkewajiban memberikan dana bagi hasil ke Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo. Lain halnya dengan PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG) yang hanya berkewajiban memberikan dana bagi hasil hanya kepada Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa Energy World Corporation (EWC) melalui perusahaan afilasinya juga melanggar Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Pratek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan tersebut :
a.    Berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau
b.    Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang atau jenis usaha; atau
c.    Secara bersama-sama mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.  

Empat dari lima perusahaan afilasi dari Energy Word Corporation yaitu PT. Energi Sengkang (PTES), PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA), PT. Slipform Indoensia (PTSI), dan PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG) dipimpin oleh seorang direktur yang sama yaitu John Anderson, bahkan berkantor di tempat yang sama yaitu di Gedung Graha Pena Makassar, dimana PT. Energi Sengkang (PTES) dan PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG) berkantor di lantai 18 sedangkan PT. Slipform Indoensia (PTSI) dan PT. Consolidated Electric Power Asia (PT. CEPA) menepati lantai 17.

Tidak hanya pelanggaran terhadap undang-undang di atas, dari beberapa penelitian yang dilakukan baik oleh pemerintah daerah, aktivis lingkungan hidup, dan akademisi, menyatakan bahwa terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah operasi perusahaan-perusahaan asing tersebut. Misalnya penurunan jumlah debit air di Kecamatan Gilireng, produktivitas sawah yang menurun di Desa Patila, dan terbaru adalah penggunaan hutan lindung oleh PT. South Sulawesi LNG (PTSSLNG) untuk kegitan operasioal perusahaan. Pihak perusahaan menggunakan kawasan hutan seluas 20 hektar tersebut tanpa izin dari pemerintah. Hal ini tentu sangat mencoreng kedaulatan kita sebagi sebuah bangsa, dimana peraturan di negara kita diinjak-injak oleh sebuah perusahaan asing. 

Sudah sepatutnya keberadaan perusahaan asing di Bumi Lamadukelleng ini ditinjau ulang oleh pemerintah, karena setelah berpuluh-puluh tahun beroperasi ternyata belum memberikan dampak yang signifikan khususnya bagi Masyarakat Wajo, justru lebih banyak merugikan masyarakat Wajo. Dana bagi hasil yang entah kemana rimbanya, sampai pada pencemaran dan pengrusakan lingkungan. Entah siapa yang harus bertanggung jawab dalam hal ini, apakah pemerintah pusat sebagai nahkoda dalam urusan tambang menambang minyak dan gas dari perut garuda. Sang nahkoda seakan tak biasa membaca strategi sang penjagal asing dari Amerika, Australia, dan Hongkong yang sedang mengerogoti gas tanah Wajo, mungkin sang nahkoda bisa membaca, tapi tertutupi oleh hasrat menghidupi keluarga, atau kolega dengan berbagai panji berwarna-warni. Atau apakah pemerintah daerah yang katanya tegas merakyat sebagai tuan rumah yang terlalu ramah kepada tamunya, sehingga sang tamu kian beringas membegal gas sang tuan rumah. Atau bisa juga orang-orang Indonesia melacurkan diri dan menjadi kera-kera korporasi yang sedang memanjat pohon karir di perusahaan-perusahaan Energy World Corporation (EWC). Si kera yang membantu pembegal gas dapat jatah puluhan juta tiap bulannya, sementara masyarakat Wajo dapat apa ? Dapat antrian panjang penerima raskin, antrian panjang anak putus sekolah, antrian panjang orang sakit, antrian panjang penerima BLSM dan antrian panjang lainnya. Atau ini bukan tentang salah kita atau salah mereka, ini adalah tentang kedaulatan dan keadilan kita, bersatu dalam Indonesia, untuk Wajo yang lebih sejahtera.

Selamat HARI JADI WAJO KE-616. Jangan sampai kemegahan gerbang tanah wajo yang bertahtakan tulisan Maradeka Towadjoe Ade’na Napopuang (Masyarakat Wajo adalah Manusia yang merdeka, dan menjunjung tinggi Hukum) berubah menjadi Maddarekeni Towadjoe Dessa Nappaupau (Masyarakat Wajo telah menderita, tapi mereka tidak mengungkapkannya).        


Oleh
Ashari Ramadhan Hairil
(Ketua Umum Himpunan Pelajar Mahasiswa Wajo KOPERTI UNHAS Periode 2010-2011)
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masih MARADEKA Kah TOWADJO’E di Kota Penghasil Gas

Trending Now