Oleh : Haruna
Rahman
“Berlaku adillah dan tegakkanlah kebenaran itu dan
Janganlah karena kebencianmu membuatmu berlaku tidak adil”. (S. Al-Baqarah).
Peran pemberantasan
korupsi memang harus ada di setiap negara. Akan tetapi peran lembaga superbody
seperti KPK harus juga menjaga asas-asas hukum dan hak asasi manusia sebab Roh dari
hukum adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menjunjung tinggi asas kebenaran
dan keadilan.

Lembaga bebas sadap
ini lahir dari sebuah konsensus politik di DPR yang dilatarbelakangi kejahatan
korupsi di era Orde Baru. Karena hukum ingin mendekatkan realitas sosial
masyarakat pada saat itu maka beberapa kalangan menginginkan agar para koruptor
dari geng penjahat korporasi yang bersama oknum birokrat di Era Orde Baru
diproses hukum.
Lahirnya anti KKN
akibat ulah para konglomerat hitam yang telah bercokol dipuncak kekuasaan
merampok uang negara melalui sebuah kejahatan sistem perbankan. Kasus BAPINDO
pelakunya Edy Tansil, dan oknum pejabat tinggi di Republik ini dan kasus BLBI
yang merampok uang negara melalui pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia senilai Rp. 1000 Triliun. Mereka yang terlibat disini adalah
konglomerat non pribumi lalu membawa uang tersebut keluar negeri seperti
Singapura, Cina, Bangkok, Vietnam bahkan ke Eropa dan Amerika.
KPK sabagai
satu-satunya lembaga superbody (extra yudicial) tentu dapat berbuat apa saja
guna mengambil kembali uang rakyat yang sekarang telah terparkir di luar
negeri. Tetapi dibalik superbodinya ada juga keterbatasannya. Buktinya, hingga
sekarang belum ada satupun pelaku kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia) masa lalu itu yang telah diseret oleh KPK. Kesan ini juga yang
memunculkan opini bahwa KPK telah tebang pilih atau memilih-milih kasus dan
tersangka yang diinginkannya.
Di Era Reformasi
ini lahir beberapa produk hukum dan undang-undang yang substansinya untuk
mencegah kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) khususnya
kejahatan Korupsi diantaranya; Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 (1) Undang-undang
Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998, UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU
No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU NO. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU RI No. 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, UU No. 7 tahun 2006 tentang
Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi PBB
Anti Korupsi), PP No. 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan
Penyelenggara Negara, dan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering).
Pengetatan aliran dana ilegal dari hasil kejahatan yang merugikan negara dan
berimplikasi pidana dari beberapa pasal yang diatur dalam UU dan ketentuan
pidananya berlaku KUHP dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Hukum Acara
Pidana).
Tinjauan hukum pada
Pasal 3 dan 4, UU No. 31 tahun 1999 tentang korupsi ini sebenarnya masih
memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya adalah seseorang tetap saja di
pidana penjara meski telah membayar atau mengganti kerugian Negara tersebut. Di
pasal ini tidak ada alasan pemaaf bila melanggar Pasal 3 padahal dalam diri
seseorang memiliki kelalaian adalah hal yang manusiawi. Makanya dalam asas
hukum pidana dikenal alasan pemaaf sebab kekeliruan dan kealpaan bisa saja
terjadi pada seseorang bahkan seorang pejabat biasa melakukan kekeliruan itu
apalagi telah dikondisikan oleh seorang bawahan atau pengada barang jasa
tersebut dengan memanipulasi atasan mereka. Seorang pejabat yang karena
ketidaksengajaannya dapat di pidana jika merugikan keuangan negara.
Bila kebijakan itu
tidak dengan sengaja dan niat baik khususnya pengadaan barang dan jasa tentu
sangat naif jika pengambil keputusan yang harus bertanggung jawab secara
tunggal padahal mereka belum tentu mendapat keuntungan secara pribadi atau
tidak dengan sengaja memberikan keuntungan pada korporasi khususnya pemborong
atau pengadaan barang dan jasa. Pada pasal 4 lebih naif lagi sebab jika
kerugian negara tersebut dapat dikembalikan sementara sanksi pidana penjaranya
tetap dilaksanakan. ini salah satu bentuk pengabaian hak asasi manusia. Seorang
pejabat adalah juga manusia bukan malaikat tentu tidak serta merta dapat
diberikan tanggung jawab itu secara mutlak.
Pasal 3, 4 dan 7 UU
No. 31/1999 tentang pemberantasan Korupsi ini tentu membuat seorang pejabat tidak
dapat melaksanakan kegiatan pembangunan sebagaimana telah diamanatkan pula
dalam UU itu sendiri. Semestinya akibat ketidaksengajaan seseorang dalam asas
hukum pidana menguburkan sanksi pidana seseorang dan terlebih lagi jika KPK
dalam prakteknya melakukan analogi kacamata kuda menurut pasal 3, 4 dan 7 UU
31/1999 tentang pemberantasan Korupsi. Asas legalitas dalam hukum internasional
pasal 11 ayat (2) Deklarasi Hak-hak asasi manusia “tidak seorangpun boleh
dipersalahkan karena perbuatan atau kelalaiannya yang tidak merupakan suatu
perbuatan pidana menurut Undang-undang nasional atau internsional, ketika
perbuatan itu dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan pidana lebih
berat dari pidana yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan”.
Lembaga yang
dibentuk di era Reformasi ini harus menyadari bahwa penegakan hukum harus
mengedapankan hak asasi manusia dan Ketentuan KUHAP. KPK harus menegakkan hukum
itu secara sempurna yang menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan bukan berdasarkan
kebencian, apalagi perbedaan pandangan politik. Karena hukum bekerja alamiah
berdasarkan kebenaran. Salah satu prinsip hukum adalah meneggakkan kebenaran.
Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam kitab suci Alquran yang
menegaskan bahwa “Berlaku adillah dan tegakkanlah kebenaran itu dan Janganlah
karena kebencianmu membuatmu berlaku tidak adil”. (S. Al-Baqarah).
Walaupun harapan
rakyat sangat besar terhadap keadilan itu tetapi KPK mesti memahami prinsip dan
esensi hukum itu. Bahwa kebenaran bukanlah menurut orang kaya dan miskin,
pejabat ataupun pengusaha serta politisi. Tetapi kebenaran adalah kebenaran
yang harus dilaksanakan dengan benar pula. Kebenaran itulah hukum. Tetapi KPK
mesti ada di Indonesia dan tetap harus didukung oleh semua komponen Bangsa.
*) Alumni Magiester
Ilmu Hukum Pidana Korupsi di Universitas Trisakti Jakarta
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia