Minggu 16 Maret 2025

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

KPK DAN HAKIKAT HUKUM

Berita Wajo Terkini
Kamis, 12 September 2013 | 06.46.00 WIB Last Updated 2013-09-11T22:46:53Z

Oleh : Haruna Rahman

“Berlaku adillah dan tegakkanlah kebenaran itu dan Janganlah karena kebencianmu membuatmu berlaku tidak adil”. (S. Al-Baqarah).

Peran pemberantasan korupsi memang harus ada di setiap negara. Akan tetapi peran lembaga superbody seperti KPK harus juga menjaga asas-asas hukum dan hak asasi manusia sebab Roh dari hukum adalah penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan.

Beberapa tersangka ditahan oleh KPK mengakui bahwa KPK telah memperlakukan mereka tidak mengenal asas hukum seperti tidak mengenal asas peraduga tidak bersalah, tidak adanya SP3, pemeriksaan yang berlangsung tertutup, menetapkan seseorang sebagai saksi bertahun-tahun dan memeriksanya berulang-ulang yang kemudian melahirkan praktik pemerasan seperti yang dialami oleh beberapa orang yang berurusan dengan lembaga ini dan menahan seorang pejabat yang masih aktif menjabat padahal satu senpun aliran dana hasil dari acc-nya pengadaan barang itu tidak dapat dibuktikan. KPK mesti mencek apakah penyidiknya telah bertindak hukum dan jujur serta tidak menerima suap diluar KPK terkait perkara yang ditanganinya.

Lembaga bebas sadap ini lahir dari sebuah konsensus politik di DPR yang dilatarbelakangi kejahatan korupsi di era Orde Baru. Karena hukum ingin mendekatkan realitas sosial masyarakat pada saat itu maka beberapa kalangan menginginkan agar para koruptor dari geng penjahat korporasi yang bersama oknum birokrat di Era Orde Baru diproses hukum.

Lahirnya anti KKN akibat ulah para konglomerat hitam yang telah bercokol dipuncak kekuasaan merampok uang negara melalui sebuah kejahatan sistem perbankan. Kasus BAPINDO pelakunya Edy Tansil, dan oknum pejabat tinggi di Republik ini dan kasus BLBI yang merampok uang negara melalui pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia senilai Rp. 1000 Triliun. Mereka yang terlibat disini adalah konglomerat non pribumi lalu membawa uang tersebut keluar negeri seperti Singapura, Cina, Bangkok, Vietnam bahkan ke Eropa dan Amerika.

KPK sabagai satu-satunya lembaga superbody (extra yudicial) tentu dapat berbuat apa saja guna mengambil kembali uang rakyat yang sekarang telah terparkir di luar negeri. Tetapi dibalik superbodinya ada juga keterbatasannya. Buktinya, hingga sekarang belum ada satupun pelaku kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) masa lalu itu yang telah diseret oleh KPK. Kesan ini juga yang memunculkan opini bahwa KPK telah tebang pilih atau memilih-milih kasus dan tersangka yang diinginkannya.

Di Era Reformasi ini lahir beberapa produk hukum dan undang-undang yang substansinya untuk mencegah kejahatan-kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) khususnya kejahatan Korupsi diantaranya; Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 (1) Undang-undang Dasar 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998, UU RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU NO. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU RI No. 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan bebas KKN, UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts Corruption, 2003 (Konvensi PBB Anti Korupsi), PP No. 67 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, dan UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Loundering). Pengetatan aliran dana ilegal dari hasil kejahatan yang merugikan negara dan berimplikasi pidana dari beberapa pasal yang diatur dalam UU dan ketentuan pidananya berlaku KUHP dan UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Hukum Acara Pidana).

Tinjauan hukum pada Pasal 3 dan 4, UU No. 31 tahun 1999 tentang korupsi ini sebenarnya masih memiliki sejumlah kelemahan. Salah satunya adalah seseorang tetap saja di pidana penjara meski telah membayar atau mengganti kerugian Negara tersebut. Di pasal ini tidak ada alasan pemaaf bila melanggar Pasal 3 padahal dalam diri seseorang memiliki kelalaian adalah hal yang manusiawi. Makanya dalam asas hukum pidana dikenal alasan pemaaf sebab kekeliruan dan kealpaan bisa saja terjadi pada seseorang bahkan seorang pejabat biasa melakukan kekeliruan itu apalagi telah dikondisikan oleh seorang bawahan atau pengada barang jasa tersebut dengan memanipulasi atasan mereka. Seorang pejabat yang karena ketidaksengajaannya dapat di pidana jika merugikan keuangan negara.

Bila kebijakan itu tidak dengan sengaja dan niat baik khususnya pengadaan barang dan jasa tentu sangat naif jika pengambil keputusan yang harus bertanggung jawab secara tunggal padahal mereka belum tentu mendapat keuntungan secara pribadi atau tidak dengan sengaja memberikan keuntungan pada korporasi khususnya pemborong atau pengadaan barang dan jasa. Pada pasal 4 lebih naif lagi sebab jika kerugian negara tersebut dapat dikembalikan sementara sanksi pidana penjaranya tetap dilaksanakan. ini salah satu bentuk pengabaian hak asasi manusia. Seorang pejabat adalah juga manusia bukan malaikat tentu tidak serta merta dapat diberikan tanggung jawab itu secara mutlak.

Pasal 3, 4 dan 7 UU No. 31/1999 tentang pemberantasan Korupsi ini tentu membuat seorang pejabat tidak dapat melaksanakan kegiatan pembangunan sebagaimana telah diamanatkan pula dalam UU itu sendiri. Semestinya akibat ketidaksengajaan seseorang dalam asas hukum pidana menguburkan sanksi pidana seseorang dan terlebih lagi jika KPK dalam prakteknya melakukan analogi kacamata kuda menurut pasal 3, 4 dan 7 UU 31/1999 tentang pemberantasan Korupsi. Asas legalitas dalam hukum internasional pasal 11 ayat (2) Deklarasi Hak-hak asasi manusia “tidak seorangpun boleh dipersalahkan karena perbuatan atau kelalaiannya yang tidak merupakan suatu perbuatan pidana menurut Undang-undang nasional atau internsional, ketika perbuatan itu dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan pidana lebih berat dari pidana yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan”. 

Lembaga yang dibentuk di era Reformasi ini harus menyadari bahwa penegakan hukum harus mengedapankan hak asasi manusia dan Ketentuan KUHAP. KPK harus menegakkan hukum itu secara sempurna yang menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan bukan berdasarkan kebencian, apalagi perbedaan pandangan politik. Karena hukum bekerja alamiah berdasarkan kebenaran. Salah satu prinsip hukum adalah meneggakkan kebenaran. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT dalam kitab suci Alquran yang menegaskan bahwa “Berlaku adillah dan tegakkanlah kebenaran itu dan Janganlah karena kebencianmu membuatmu berlaku tidak adil”. (S. Al-Baqarah).

Walaupun harapan rakyat sangat besar terhadap keadilan itu tetapi KPK mesti memahami prinsip dan esensi hukum itu. Bahwa kebenaran bukanlah menurut orang kaya dan miskin, pejabat ataupun pengusaha serta politisi. Tetapi kebenaran adalah kebenaran yang harus dilaksanakan dengan benar pula. Kebenaran itulah hukum. Tetapi KPK mesti ada di Indonesia dan tetap harus didukung oleh semua komponen Bangsa.

*) Alumni Magiester Ilmu Hukum Pidana Korupsi di Universitas Trisakti Jakarta

Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • KPK DAN HAKIKAT HUKUM

Trending Now