Minggu 16 Maret 2025

SPACE IKLAN

SPACE IKLAN

Berubahnya Paradigma Hukum Pemidanaan

Berita Wajo Terkini
Minggu, 15 September 2013 | 07.28.00 WIB Last Updated 2013-09-14T23:28:33Z

Oleh : Haruna Rahman, SH, MH *)


Dalam hukum Islam ada asas qisash. membunuh hukumannya dibunuh, tapi jika keluarga korban memaafkan maka hukuman penggantinya Dyat. Hukuman pengganti qisash tadi diganti menjadi ganti rugi  (Dyat). Saya setuju pelaku Koruptor dihukum Mati tetapi harus disiapkan juga hukuman pengganti yaitu hukuman ganti rugi dan denda. Asas dan metode penghukuman ini dahulu telah digunakan oleh Rakyat Romawi, Jerman, Prancis, dan Belanda.

Seseorang yang terbukti secara hukum melakukan markup yang merugikan keuangan negara tidak harus diberi Hukuman Mati bila nilai kesalahannya dapat di kalkulasi atau diganti sebesar kerugian Negara yang dikalikan dengan denda setotal kerugian Negara dimaksud. Jika tidak terbukti maka harus bebas demi hokum dan jika kerugian Negara dibawah 100 juta rupiah maka sebaiknya hukuman penjara diganti menjadi ganti rugi dan denda

Misalnya Kasus Korupsi Pengadaan Mobil Pemadam Kebakaran di Indonesia (Damkar) di seluruh daerah di Indonesia. Delik Pidana diterapkan tanpa tender atau Persoalannya tidak ada tender atau melalui penunjukkan langsung pada salah satu perusahaan saja. Kesalahan Prosedure yang menyebabkan Negara Rugi walau atau aturan dan ketentuan hukum. Pejabat bersangkutan  tertipu oleh kontraktornya sehingga Bupati atau Gubernur bersangkutan harus membayar dengan penjara menurut penulis perlu ditinjau ulang. Usulnya, Pejabat bersangkutan lebih baikkah jika di Hukum denda dang anti rugi atas kerugian uang Negara.

Kebijakan pemidanaan mati sebenarnya murni kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah dan DPR. Sanksi hukum bisa diubah setiap saat oleh DPR dan Pemerintah. Persoalan hokum selain menyangkut kebenaran dan keadilan pula disana harus menghitung berapa jumlah kerugian Negara akibat satu Tindak Pidana Korupsi. Misalnya terdakwa Korupsi 1 Miliar Rupiah jika dilihat asas manfaat maka penghukuman dengan pertimbangan pelakunya mantan penjabat yang sudah berumur tua, Mengapa tidak dihukum mati saja atau tidak dihukum mati tapi diganti rugi sebesar tujuh kali dari total kerugian Negara. Pertimbangannya penghukuman penjara dewasa ini tidak efektif dan efisien lagi. Bisa dibuktikan dengan kecenderungan pemenjaraan yang penuh dengan kecurangan dan permainan. Pembebasan Bersyarat (PB) bisa dibeli. Ini menunjukkan sebuah tindakan pemborosan dan kecorobohan. Ini pula yang disebut kekecawaan rakyat terhadap hukuman Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan dan Korupsi.

Kembali kekonteks  Pidana Qisash, bila seseorang yang membunuh dan dimaafkan keluarga korban maka wajib mengganti denda dang anti rugi sebesar 7 kali dihitung dari jumlah keluarga korban. Apa mungkin nyawa seseoran dapat dihitung dengan uang. Faktanya orang kaya dapat membayar pembunuh bayaran dengan sebuah harga tertentu. Tentu, Hukuman denda dan ganti rugi tidak boleh ringan, ibarat orang yang kaya raya bisa tiba-tiba bangkrut. Bila Denda dang anti rugi tidak dapat dilaksanakan maka putusan Pengadilan diberlakukan hukuman mati.

Wacana ini dimaksudkan agar kita tidak menghakimi diri kita sendiri sebab tidak sedikit dari kepala daerah itu adalah mereka yang juga punya jasa dan punya catatan yang baik bagi bangsa dan negara. apakah kita dapat menghukum seseorang hanya karena beda partai, beda jumlah harta. Asas hukum Islam sangat nyata dan adil yang menegaskan bahwa setiap seorang Muslim wajib menegakkan kebenaran dan mencegah yang mungkar dan wajib menjadi saksi yang adil. Tidak ada alasan seorang penegak hokum manapun karena benci seseorang dihukum. Inilah yang dimaksud asas legalitas secara luas dan tak terbatas.

Akhirnya kita harus menyadari bahwa sumber hukum itu pada hakikatnya berasal dari langit melalui para Rasulnya yang dimaktubkan dalam kitab Tuhan. Jadi hukum bukan berasal dari otak manusia seperti mereka para akademisi hokum ini Socrates, Aristoteles, Tribunianus dan Carl Von Savigny (Bapak hukum Jerman) pada abad ke 12 Masehi yang dalam bukunya "Hukum tidak diciptakan Namun ditemukan”. Mereka ini tidak bukan pencipta hokum hanya dia menemukan catatan tentang hukum.

Berdasrkan kajian ilmiah dan logika matematis menegaskan bahwa ketika otak manusia menetapkan hukum maka lahirlah ketidakpuasan dan ketidakadilan. Bahwa hukum bukan keadilan tetapi kebenaran sebab kebenaran itu adalah Hukum. Maka ketika menegakkan kebenaran, maka ketika itu, kita telah menegakkan keadilan. Itulah penegakan hokum. Ketika benar, maka adil, dan ketika adil maka menjadi roh hukum sebab keadilan itu akan ditaati semua pihak. 

Praktek hokum sekarang tidak pernah berakhir dalam setiap sengketa di Pengadilan menunjukkan bahwa hokum masih jauh dari keadilan. Itulah berakhir dengan ricuh ketika salah satu pihak tidak menaati putusanya yang tidak adil tersebut yang tidak berdasarkan kebenaran material dan hakiki. 

Lalu bagaimana mengartikan atau mendefinisikan kebenaran bahwa mungkin kita sendiri dapat menjawabnya dengan hati nurani. Kebenaran dapat menjawab semua zaman. Belanda setelah 68 tahun baru menyatakan kesalahannya telah membunuh Rakyat Sulawesi Selatan yang dikenal peristiwa pembantaian Raymond Westerling (Korban 40 Ribu jiwa). 

Menarik kita analisa hokum paradigm Tindak Pidana Korupsi dalam kajian hokum kita pada Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PEmberantasan Tindak Pidana KOrupsi. Bunyinya , "Bahwa Penggantian Kerugian Uang Negara, tidak menghapuskan Pidana Penjara,”. Bandingkan RRT (China), seorang yang di Hukum Mati, tidak di Sanksi Denda sebab yang ikut Korupsi mendapat hukuman Mati. Persoalan yang dihukum mati ditanggung Negara, semua asetnya disita untuk Negara. Hukuman ini berarti hanya menghukum satu kali bagi pelaku dan dianggap selesai karena semua hartanya ditarik untuk Negara.

Bandingkan Hukum Koruptor di Indonesia yang sehariannya dapat disaksikan di Lapas Cipinang  dan Lapas Sukamiskin. Sambil santai main gaplek bersama para tahanan ex Pejabat menelpon orang-orang diluar Penjara.  Sabtu minggu bias tidur dirumahnya dengan pengawalan petugas dan hartanya masih bergelimang.

Bandingkan beberapa Negara di Eropa yang menganut Hukum Common Law Sistem. Atau Pengadilan Amerika praktik hukumnya beberapakali Pelaku Tindak Pidana Korupsi dan pembunuhan di Hukum denda dan ganti rugi kategori Denda yang sangat besar. Mungkinkah ini ini lebih adil?. Wacana ini dimaksudkan memikirkan kembali tentang keadilan dan benarkah hokum kita sudah Adil.

Hokum harus mendekatkan kita pada realitas social masyarakat dapat diartikan bahwa Hukum tidak mengenal ruang dan waktu.  Bahwa Produk Hukum adalah keadilan dimana Keadilan tidak mengenal Ruang dan waktu. Jadi Hukum dalam prakteknya bukan mendekatkan kita kebencian, rasa cemburu (unrasional). Memang Logika Kebenaran dan Logika Fungsional dapat membawah kita pada keputusan yang sahih dalam pendalaman material perkara. 

*)Pengacara Berkantor di Jakarta, Alumni S2 Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta


Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.

Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Berubahnya Paradigma Hukum Pemidanaan

Trending Now