Oleh : Haruna Rahman, SH, MH *)
Dalam hukum Islam ada asas qisash.
membunuh hukumannya dibunuh, tapi jika keluarga korban memaafkan maka hukuman
penggantinya Dyat. Hukuman pengganti qisash tadi diganti menjadi ganti
rugi (Dyat). Saya setuju pelaku Koruptor dihukum Mati tetapi harus
disiapkan juga hukuman pengganti yaitu hukuman ganti rugi dan denda. Asas dan
metode penghukuman ini dahulu telah digunakan oleh Rakyat Romawi, Jerman,
Prancis, dan Belanda.

Misalnya Kasus Korupsi Pengadaan
Mobil Pemadam Kebakaran di Indonesia (Damkar) di seluruh daerah di Indonesia.
Delik Pidana diterapkan tanpa tender atau Persoalannya tidak ada tender atau
melalui penunjukkan langsung pada salah satu perusahaan saja. Kesalahan
Prosedure yang menyebabkan Negara Rugi walau atau aturan dan ketentuan hukum.
Pejabat bersangkutan tertipu oleh
kontraktornya sehingga Bupati atau Gubernur bersangkutan harus membayar dengan
penjara menurut penulis perlu ditinjau ulang. Usulnya, Pejabat bersangkutan
lebih baikkah jika di Hukum denda dang anti rugi atas kerugian uang Negara.
Kebijakan pemidanaan mati sebenarnya
murni kewenangan dan tanggung jawab Pemerintah dan DPR. Sanksi hukum bisa
diubah setiap saat oleh DPR dan Pemerintah. Persoalan hokum selain menyangkut
kebenaran dan keadilan pula disana harus menghitung berapa jumlah kerugian
Negara akibat satu Tindak Pidana Korupsi. Misalnya terdakwa Korupsi 1 Miliar
Rupiah jika dilihat asas manfaat maka penghukuman dengan pertimbangan pelakunya
mantan penjabat yang sudah berumur tua, Mengapa tidak dihukum mati saja atau
tidak dihukum mati tapi diganti rugi sebesar tujuh kali dari total kerugian
Negara. Pertimbangannya penghukuman penjara dewasa ini tidak efektif dan
efisien lagi. Bisa dibuktikan dengan kecenderungan pemenjaraan yang penuh
dengan kecurangan dan permainan. Pembebasan Bersyarat (PB) bisa dibeli. Ini
menunjukkan sebuah tindakan pemborosan dan kecorobohan. Ini pula yang disebut
kekecawaan rakyat terhadap hukuman Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan dan Korupsi.
Kembali kekonteks Pidana Qisash, bila seseorang yang membunuh
dan dimaafkan keluarga korban maka wajib mengganti denda dang anti rugi sebesar
7 kali dihitung dari jumlah keluarga korban. Apa mungkin nyawa seseoran dapat
dihitung dengan uang. Faktanya orang kaya dapat membayar pembunuh bayaran
dengan sebuah harga tertentu. Tentu, Hukuman denda dan ganti rugi tidak boleh
ringan, ibarat orang yang kaya raya bisa tiba-tiba bangkrut. Bila Denda dang
anti rugi tidak dapat dilaksanakan maka putusan Pengadilan diberlakukan hukuman
mati.
Wacana ini dimaksudkan agar kita
tidak menghakimi diri kita sendiri sebab tidak sedikit dari kepala daerah itu
adalah mereka yang juga punya jasa dan punya catatan yang baik bagi bangsa dan
negara. apakah kita dapat menghukum seseorang hanya karena beda partai, beda
jumlah harta. Asas hukum Islam sangat nyata dan adil yang menegaskan bahwa
setiap seorang Muslim wajib menegakkan kebenaran dan mencegah yang mungkar dan wajib
menjadi saksi yang adil. Tidak ada alasan seorang penegak hokum manapun karena
benci seseorang dihukum. Inilah yang dimaksud asas legalitas secara luas dan
tak terbatas.
Akhirnya kita harus menyadari bahwa
sumber hukum itu pada hakikatnya berasal dari langit melalui para Rasulnya yang
dimaktubkan dalam kitab Tuhan. Jadi hukum bukan berasal dari otak manusia
seperti mereka para akademisi hokum ini Socrates, Aristoteles, Tribunianus dan Carl
Von Savigny (Bapak hukum Jerman) pada abad ke 12 Masehi yang dalam bukunya
"Hukum tidak diciptakan Namun
ditemukan”. Mereka ini tidak bukan pencipta hokum hanya dia menemukan
catatan tentang hukum.
Berdasrkan kajian ilmiah dan logika matematis
menegaskan bahwa ketika otak manusia menetapkan hukum maka lahirlah
ketidakpuasan dan ketidakadilan. Bahwa hukum bukan keadilan tetapi kebenaran
sebab kebenaran itu adalah Hukum. Maka ketika menegakkan kebenaran, maka ketika
itu, kita telah menegakkan keadilan. Itulah penegakan hokum. Ketika benar, maka
adil, dan ketika adil maka menjadi roh hukum sebab keadilan itu akan ditaati
semua pihak.
Praktek hokum sekarang tidak pernah
berakhir dalam setiap sengketa di Pengadilan menunjukkan bahwa hokum masih jauh
dari keadilan. Itulah berakhir dengan ricuh ketika salah satu pihak tidak
menaati putusanya yang tidak adil tersebut yang tidak berdasarkan kebenaran
material dan hakiki.
Lalu bagaimana mengartikan atau
mendefinisikan kebenaran bahwa mungkin kita sendiri dapat menjawabnya dengan
hati nurani. Kebenaran dapat menjawab semua zaman. Belanda setelah 68 tahun
baru menyatakan kesalahannya telah membunuh Rakyat Sulawesi Selatan yang
dikenal peristiwa pembantaian Raymond Westerling (Korban 40 Ribu jiwa).
Menarik kita analisa hokum paradigm
Tindak Pidana Korupsi dalam kajian hokum kita pada Pasal 4 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang PEmberantasan Tindak Pidana KOrupsi. Bunyinya , "Bahwa
Penggantian Kerugian Uang Negara, tidak menghapuskan Pidana Penjara,”.
Bandingkan RRT (China), seorang yang di Hukum Mati, tidak di Sanksi Denda sebab
yang ikut Korupsi mendapat hukuman Mati. Persoalan yang dihukum mati ditanggung
Negara, semua asetnya disita untuk Negara. Hukuman ini berarti hanya menghukum
satu kali bagi pelaku dan dianggap selesai karena semua hartanya ditarik untuk
Negara.
Bandingkan Hukum Koruptor di
Indonesia yang sehariannya dapat disaksikan di Lapas Cipinang dan Lapas Sukamiskin. Sambil santai main
gaplek bersama para tahanan ex Pejabat menelpon orang-orang diluar
Penjara. Sabtu minggu bias tidur
dirumahnya dengan pengawalan petugas dan hartanya masih bergelimang.
Bandingkan beberapa Negara di Eropa
yang menganut Hukum Common Law Sistem.
Atau Pengadilan Amerika praktik hukumnya beberapakali Pelaku Tindak Pidana
Korupsi dan pembunuhan di Hukum denda dan ganti rugi kategori Denda yang sangat
besar. Mungkinkah ini ini lebih adil?. Wacana ini dimaksudkan memikirkan
kembali tentang keadilan dan benarkah hokum kita sudah Adil.
Hokum harus mendekatkan kita pada
realitas social masyarakat dapat diartikan bahwa Hukum tidak mengenal ruang dan
waktu. Bahwa Produk Hukum adalah
keadilan dimana Keadilan tidak mengenal Ruang dan waktu. Jadi Hukum dalam
prakteknya bukan mendekatkan kita kebencian, rasa cemburu (unrasional). Memang
Logika Kebenaran dan Logika Fungsional dapat membawah kita pada keputusan yang
sahih dalam pendalaman material perkara.
*)Pengacara Berkantor di Jakarta,
Alumni S2 Hukum Pidana Universitas Trisakti, Jakarta
Dapatkan Berita Terupdate dari JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia
Hak Jawab dan Hak Koreksi melalui email: jbnredaksi@gmail.com
- Pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan ini dapat mengajukan sanggahan/hak jawab.
- Masyarakat pembaca dapat mengajukan koreksi terhadap pemberitaan yang keliru.
Follow Instagram @jbnindonesia dan Fanspage JBN Indonesia